Cerpen : Ibu dalam Tangga Mimpi


ibu

Demi pijaki setapak demi setapak //
Tangga mimpiku, Ibu //
Rasamu bahkan tak kurasai //
Cintamu bahkan tak kupahami //
Dalam gorong-gorong kelabuku, Ibu //
Dalam ketegaanku yang nista //

“Uhuk..uhuk…” Berkali-kali Aisa terbatuk, tenggorokannya terasa begitu gatal, sayang, tenggorokan itu tak bisa digaruk selayaknya ia menggaruk keningnya yang kerap kali digigit nyamuk saat tidur malam.

Kembali, bagian kanan menjadi sasaran untuk menggantikan jemari tangan kirinya yang letih. Telunjuk dan ibu jari saling menjepit menutup dua lubang hidung Aisa dengan tisu. Sesekali suara batuknya dibiarkan semakin keras seakan ingin memberitahu semua orang rasa tak nyaman yang dienyamnya, terutama kepada si tukang produksi asap di pojokan.

Drrrggggg Drrrggg suara getar handphone berdering, sebuah pesan singkat elektronik datang menghampiri. Tertulis nama “Ibu” di desktopnya.
---Nak, sudah sampai mana?---
---Mobilnya nyaman?--- Ujar tulisan diam itu.

Aisa menekan tombol power, mematikan lampu handphone, pesan itu dihiraukannya. Hingga hanya beberapa menit berlalu, bersusulanlah getaran-getaran baru.

Kepalanya direbahkan di kaca tebal yang berada tepat disampingnya. Pipinya merasakan dingin yang amat hebat tatkala menyentuh kaca itu. Terlihat tetesan air yang jatuh dari atap mobil membentuk garis-garis lurus mengikuti gravitasi. Garis itu seakan membersihkan kaca dari percikan-percikan hujan secara perlahan dan teratur, namun datangnya percikan-percikan baru membuat usaha garis-garis itu hancur berantakan.

“Huft… nyaman bagaimana? Di mobil travel begini bisa nyaman? Katanya ber-AC tapi baru beberapa menit jalan, AC-nya rusak. Mana ada produksi asap rokok pula. Aisabelle tertinggal. Huft.” Ujar Aisa dalam hati dan pikirannya yang kacau.

Lalu dikeluarkannya beberapa buku dari dalam tas yang merupakan senjata dalam perjalanan yang sedang ia lakukan. Namun getaran handphone membuatnya tak mampu berkonsentrasi lebih jauh, tulisan “Ibu” dan dua buah gambar gagang telepon berwarna hijau dan merah selalu bertengger di layarnya. Aisa tak mampu menguasai pikirannya hingga pikiran itu menerobos kembali ke suasana beberapa waktu lalu, tepat saat dimana muncul alasan untuk kepergiannya saat ini.

Baca Juga : Cerpen : Cinta Kah?

***
“Tak harus kuliah jauh-jauh kan Ais? Kamu bisa kuliah disini saja Nak, masuk saja ke tempat Bi Uni mengajar, Bi Uni akan membantumu mengurusi semua keperluan kuliah.” Suara wanita tua itu pelan, ia sedang mengiris bayam-bayam segar diatas papan kayu yang dibuat sendiri sebagai papan iris.
“Jauh bagaimana Bu, Ais hanya ke pulau sebelah kok.” Ujar Ais membantah pernyataan Ibunya. Daun seledri utuh yang belum diirisnya kini semakin berkurang. “Ais tak ingin disini lagi Ibu, sudah dari kecil Ais sekolah disini, lagipula 6 kakak Ais semuanya kuliah diluar propinsi, lalu mengapa Ais tidak boleh? Ibu membeda-bedakan.” Ujar Aisa kemudian dengan emosi yang sulit dikendalikannya, tiada tanda keceriaan yang menghiasi wajahnya.

“Memang beda Nak, dulu ayahmu masih ada, sekarang ayahmu sudah tidak ada, siapa yang akan menemani Ibu dirumah?” Jawab wanita itu dengan nada semakin melemah bahkan nyaris berbisik, tak menyangka putri bungsunya akan memiliki keinginan yang begitu sulit dihentikan.
Aisa menghirup udara perlahan hingga memenuhi seluruh ruang paru-parunya lalu mengeluarkannya kembali. Masih dilihatnya dalam lemari di sudut ruangan, sisa tisu seminggu lalu yang digunakan untuk acara yasinan 100 hari wafat ayahnya. Kegiatan mengiris seledri dihentikannya meski belum seluruhnya terisis.

“Ibu, kan masih ada Nenek, Ibu juga bisa pergi ke tempat Tante Ilma, Tante Arin, Tante Fayin, Tante Nia dan sepupu-sepupu Ibu yang lainnya. Jadi Ibu tidak akan kesepian kan?” Ujar Aisa mencari alasan.

Yang diajak bicara kini tidak mengeluarkan sepatah katapun. Wanita itu hanya memusatkan perhatiannya untuk mencuci bayam-bayam yang telah diiris dalam sebuah baskom oranye ukuran sedang.

“Ibu tidak usah khawatir, aku pergi dengan Siska kok.” Jawab Ais lagi, mencoba meyakinkan. Sang ibu tidak menjawab apa-apa lagi. Kini hanya terdengar suara ikan yang dicelupkan dalam minyak goreng yang panas, cukup berisik untuk sebuah ruangan dapur yang tidak cukup luas.



***
“Ais, ayo bangun! Kita sudah sampai.” Tangan Siska menggoyang-goyangkan pundak Ais yang sedang terkulai di sandaran kursi, mencoba menjemputnya dari alam bawah sadar.


“Hmm.. Oh ya? Sudah dimana?” Ujar Ais masih dengan pandangan mata yang belum sepenuhnya jernih.

“Sudah di depan kos, kamu sih, sejak turun dari pesawat, tidur terus.” Ucap Siska dengan nada yang mengisyaratkan kekecewaan. “Ayo bantu aku angkat barang.” Ujarnya lagi.

Mereka sampai disebuah rumah kontrakan bedengan yang berjarak cukup dekat dengan universitas yang mereka incar. Rumah ini telah di-booking Siska sebelumnya. Aisa melangkahkan kaki kanannya, masih setengah tak percaya akan memiliki rumah kontrakan pertamanya sendiri. Rumah itu memiliki satu kamar, di dindingnya hanya terdapat bekas-bekas lakban serta bekas tancapan paku-paku, terlihat jelas rumah ini sebelumnya sudah memiliki penghuni. Di rumah ini juga terdapat sebuah jam berbentuk oval tergantung di satu sisi dinding yang jarumnya menunjukkan pukul 18.45.
Ais membaringkan kepala letihnya ke atas kasur yang tidak begitu empuk, tak disangka di dalam kamar masih terdapat ornamen dinding sederhana, terdapat sebuah hasil sulaman tusuk silang dengan benang wol dan berdasar kain membentuk gambar rumah panggung yang merupakan rumah adat asli dari daerah yang dipijakinya kini.

Mata Aisa menutup pelan sedang getar handphone sudah seperti suara asli alamnya. Meski handphonenya itu tiada hendak berhenti bergetar, tak ada minat sedikitpun Aisa untuk mengangkat telpon yang sudah sedari tadi mengkerlap-kerlipkan lampu layarnya tersebut.

“Gak diangkat telponnya Ais?“ Tanya Siska yang barusaja keluar dari kamar mandi,. “Atau kamu silent aja.” Katanya lagi. Agaknya siska sudah merasa bosan dengan suara getar yang monoton itu
“Biar aja Sis, entar saja, palingan Ibu nanyain kabar atau nyuruh pulang.” Jawab Aisa santai sambil terus berbaring menyatukan kelopak matanya yang lelah.

“Ya sudah, aku mau telepon ortu dulu.” Kata Siska kemudian. Kata-kata Siska begitu menusuk hati Aisa, mengingat hubungan ia dan ibunya kini tak seharmonis sahabatnya tersebut.

“Hmm…” Aisa hanya menggumam pelan. Ia lalu tersadar bahwa dering handphonenya sudah tidak terdengar lagi “Mungkin Ibu lelah… seperti aku.” Ucapnya kemudian sambil menarik napas perlahan.

Aisa lalu teringat akan buku-buku ajaibnya, buku tangga mimpinya, buku kumpulan tes perguruan tinggi yang belum sama sekali dibaca sejak memulai perjalanan. Sedang esok adalah jadwal tes yang harus ia jalani untuk menjadi mahasiswi di perguruan tinggi yang ia impikan sejak lama. Singkat, jalan mimpi yang semakin dekat itu membuat rasa lelahnya memudar. Segera dibukanya buku-buku tersebut, cukup banyak dengan tebal rata-rata 5 cm hingga harus diletakkan di dalam tas khusus. Sebagai juga salahsatu anak tangga dari mimpinya, Aisa sempat mengikuti bimbingan belajar khusus untuk menaklukkan soal-soal tes perguruan tinggi.

Sekian menit berlalu, dalam konsentrasi yang terfokus pada buku-buku tangga mimpinya, telinga Aisa mendapati derap langkah kaki berjalan cukup cepat, suara itu terdengar begitu jelas dari pintu depan menuju pintu kamar.

“Aisa……… Aisa……” Ujar siska sambil berlari memasuki pintu kamar.
Aisa refleks menutup bukunya, matanya menoleh ke arah pintu kamar dimana Siska sedang berjalan ke arahnya. Aisa hendak membuka mulutnya menanyakan ada apa, tetapi Siska buru-buru mengeluarkan kata yang lebih harus didengar.

“Ibuku sakit lagi, aku harus pulang.” Ujarnya dengan tempo cepat sambil berlari menuju sebuah lemari di dekat jendela kamar.

“Apa? Pulang? Sis kita baru sampai dan kamu mau pulang? Besok kita ujian loh. Kita jauh-jauh kesini dan kamu…..”

“Tapi ini ibuku Ais, aku mau pulang aja.” Ujarnya sembari memasukkan kembali barang-barang bawaan yang sempat dikeluarkan dari travel bag.

‘Kalau gitu akuu… Aku juga……”
“Kamu disini aja, besok kamu ujian, sayang kan semua ongkos kamu, aku pergi sama tanteku pakai mobilnya, sebentar lagi dia kesini.” Ujar Siska sembari berjalan bolak-balik memastikan tidak ada barangnya yang tertinggal. “Kamu tenang aja, kamu aman disini, ada banyak sepupu aku disini.” Ucap Siska menenangkan setelah terlihat sekilas raut wajah Ais yang tiba-tiba berubah, terlihat takut.
“Tapi Sis…” Ucap Aisa mencoba membantah.

Kiiiiittttt….. Suara klakson mobil terdengar begitu dekat, lebih cukup kuat membantah ucapan Aisa.
“Nah itu mobilnya, Aku pulang Ais, doakan ibuku ya… Bye say.. semoga ujianmu lancar….” Pamit Siska dengan nada dipercepat sembari memeluk sahabatnya yang masih dalam radiasi bingung.

“Iya get well soon buat ibumu.” Jawab Ais dengan ekspresinya yang datar. Ais menurut saja sebab tak mungkin baginya menahan Siska untuk tetap tinggal. Setelah kejadian singkat itu Ais kembali menutup erat pintu rumahnya, ia belum hendak berkenalan dengan tetangga kos yang lain.

Aisa membuka buku-buku tangga mimpinya kembali, mencoba kembali berkonsentrasi, namun pikirannya tak bisa, ia tak bisa menerima kenyataan bahwa kini ia sendirian di sebuah kamar dalam daerah asing yang hanya sekali sempat dikunjunginya semasa sang ayah masih ada. Kehadirannya disini pun tanpa restu penuh sang ibu, ibunya terpaksa melepas kepergian Aisa.

Mata serta hatinya melirik ke handphone yang sudah lama dianggurkan, ada begitu banyak pesan dan tanda adanya panggilan yang tak terjawab dari ibunya. Tangannya meraih handphone tersebut, mencoba menelepon nomor sang ibu namun nomor tersebut tidak aktif, Aisa tak mengerti mengapa nomor itu bisa tidak aktif. Saat ini. ia hanya merasa sendiri dan kesepian, tak ada yang bisa diajaknya berbicara.

Bahkan hal menyiksa yang akan dirasakannya adalah harus melewati malam sendirian, selama ini Aisa tidur berdua dengan ibunya. Ia juga harus tinggal sendirian di kontrakan barunya, hingga menjalani tes yang penting dalam hidupnya pun sendirian.

Berkali handphone Aisa dalam kondisi memanggil. Matanya yang sayu tak mampu lagi terbuka, ia mengantuk berat namun tak juga bisa terjun ke alam mimpi. Ditambah lagi Aisabelle, boneka beruang yang selama ini menemani tidurnya terlupa ia bawa, selama ini Aisa tak bisa tidur tanpa bonekanya. Bahkan ketika boneka itu tertinggal saat acara camping sekolah, ia rela berbohong kepada guru pembimbing untuk menjemput boneka itu di rumah. Aisa benar-benar merasa tersiksa dengan keadaannya kini, tak tahu apakah mungkin ia bisa terlelap malam ini.

Bulir bening jatuh dari sudut matanya tanpa dipandu, setetes demi setets membasahi bantal kapas yang ia gunakan. Hingga sekian jam pun telewati.


Baca Juga : Cerpen : Sejarah Itu Terulang

Tok.. tok.. tok.. Aisa membuka mata, lebih tepatnya telinga Aisa yang menangkap suara terlebih dahulu. Ia mendengar suara pintu diketuk, jarum jam menunjukkan pukul 11.30 malam. Aisa ragu, ia tak berani membuka pintunya.

“Aisa, ini Ibu.” Ujar suara dari balik pintu rumah, suara yang begitu dikenalnya, lembut tanpa imitasi. “Aisa….” Suara itu terdengar lagi.
Yakin tak ada yang salah dengan telinganya, Aisa membuka pintunya. Benar saja, sang ibu yang sedari tadi menguasai pikirannya kini terwujud dihadapannya, seseorang yang begitu ia kasihi. Aisa mematung beberapa saat, belum sadar sepenuhnya.

“Ais, Ini Ibu bawakan Aisabelle.” Ujar wanita tua itu kemudian.
Mata Aisa segera melirik sesuatu yang besar dalam gendongan wanita tua itu, boneka beruang miliknya, boneka wajib peneman tidurnya. Aisa tak mengambil bonekanya namun segera memeluk erat ibunya seperti tak ingin melepaskannya lagi. Ia merasa sangat kesepian tanpa sang ibu. Ia semakin sadar bahwa tak ada yang bisa menggantikan posisi ibunya, sebagai penyelamatnya, penyemangatnya, pahlawannya. Sang ibu membalas pelukan putri bungsunya itu, putri yang juga sangat ia kasihi.

“Ais mengapa menangis?” Tanya wanita itu, ia melepaskan pelukannya lalu melihat keganjalan pada raut wajah Aisa. “Siska mana? Ibu tadi langsung nyusul Ais tapi ibu pakai jalan darat jadi sampainya lama.” Ujar Ibunya menjelaskan,

“Bu, Ais kuliah di universitas tempat Bi Uni mengajar aja ya gak usah disini, Ais gak mau sendirian disini, Kita pulang saja.” Ujar Aisa sedikit terisak, matanya berkaca-kaca.
“Apa Nak? Kenapa begitu? Kan Ibu sudah ada disini, percuma kan Ibu ada disni kalo Ais gak jadi ujiannya?” Jawab ibunya menguatkan.

“Tapi Ibu kan tidak setuju Ais jauh dari rumah?” Aisa meminta penjelasan.
“Ibu lebih tidak setuju kalau Ais turun dari tangga mimpi Ais.” Jawab ibunya lagi, terdapat sedikit gurat senyum di pipinya yang keriput.

“Benarkah? Makasih Ibu…Maafin Ais ya.” Ucap Aisa kemudian dengan perasaan yang sungguh lega. Ia mendekap kembali ibunya, Aisabelle, boneka beruang itu sudah bukan apa-apa lagi. Aisa percaya tangga mimpinya takkan mampu lebih tinggi tanpa kehadiran ibunya. 



***
Sebagai penopang tangga mimpiku, Ibu//
Patutlah, ku hadirkan senyum di hatimu//
Dalam rasa laraku tanpamu, Ibu//
Asamu yang teraih haruslah tanpa sanggah//





Komentar

POPULAR POST