Cerpen : Kembalikan Rumahku!!!



Kalei, pemuda itu, jemari tangannya yang kurus terus saja menggenggam kayu bulat yang panjangnya sekitar lebih dari 3 meter, genggaman tangannya memberikan aliran energi pada kayu tersebut untuk terus mendorong sampan miliknya menjauhi daratan, jauh dari jembatan papan yang biasa digunakan sebagai tempat bersandar sampan-sampannya, ia menaiki kayu bermesin tersebut, di dalam sampannya telah terdapat sebuah kurungan kecil dari bambu, sampannya memberi jarak pada rumah-rumah panggung yang dari kejauhan terlihat berantakan, menerabas ombak-ombak tipis di laut kebiruan. Seperti biasanya Kalei akan menemui saudaranya di pulau lain, pulau dengan daun-daun hijau nan cantik milik pohon-pohon bakau yang berkumpul di sepanjang pesisirnya. Saudaranya itu, yang dahulu bersamanya memperjuangkan  keberlanjutan hidup dan keseimbangan alam, sepekan saja tak berkunjung akan meninggalkan rindu yang tak terestimasi. Hingga saat ini ia masih terus konsisten melakukan konservasi bagi hutan bakau. Kalei mengingat kembali memori lama yang ia yakin tak akan pernah usang. Lalu ia bertutur nada, begitu bangga akan senandung yang dimiliki oleh pulaunya.


Peia tawa
Peia tawa tawa
Noamba Tepumbu..
Peia tawa tawa
Peia tawa  tawa
Noamba tepumbu..
Tepumbu luale..
Tepumbu anandonia..
Ronga tono motuo.. (1)



“Lao… ayo kita kesana.”
Pita suaraku bergetar memanggil Laode yang sedang berada di batang sebuah pohon bakau, Laode merupakan saudara kandungku, kami seringkali dikatakan kembar sebab kami terlihat begitu mirip, tak seperti aku dengan saudara-saudaraku yang lain, hanya  sedikit hal yang dapat membedakan aku dan Laode yakni wajahku memiliki warna yang lebih cerah darinya. Maklum saja, kami berasal dari sumber benih yang sama, usia kami pun hampir sama, Laode lahir hanya beberapa menit lebih dahulu dariku. Begitulah yang  dikatakan oleh orangtuaku, mereka yang telah dengan baik hati menghadirkanku di dunia ini,  yang membuatku bisa merasakan indahnya bumi Bolimo Karo Somanamo Lipu (2).

“Ayo-ayo, kesana.” Jawab Laode dengan semangat, segera ia menjauh dari pohon itu.
“Tapi dimana ayah dan ibu?” Tiba-tiba saja aku teringat mereka.
“Sepertinya ke pulau yang disana, mencari makan untuk kita.” Laode mengarahkan matanya ke arah laut, meski tak dapat kulihat kuyakin ia memberitahu bahwa ada pulau di arah sana.
“Ah aku ingin membantu mereka.” Ucapku pada Laode yang kini sudah berada sangat dekat denganku. Laode menatapku sambil mengatakan “Aku juga ingin tapi mereka tidak mengizinkan kita pergi jauh, Aoa.”

Aoadho adalah namaku, ibu mengambilnya dari Bahasa Muna yang artinya cantik, namun sayangnya kami tidak tinggal di Pulau Muna, kami di Pulau Bungkutoko, sebuah pulau yang sangat dekat dengan Kota Kendari. Kami mendiami bagian tenggara dari Pulau Sulawesi yang merupakan sebuah pulau besar dengan banyak pulau-pulau kecil di sekitarnya. Karena hal tersebutlah, kami pun sangat sering berpindah tempat, maklumlah kami harus mencari makanan di tempat yang tersedia. Tidak selamanya akan mudah mencari makanan sebab hidup di daerah pesisir membuat kehidupan sangat bergantung pada alam, bergantung dengan kecepatan angin, serta bergantung pada tinggi rendahnya gelombang laut.

“Kalian akan kemana? Ayah dan Ibu sebentar lagi pulang.” Wayong menegur kami, ia adalah saudaraku yang lainnya, ternyata ia bersama dengan Zurhum dan Rifat yang juga saudaraku. Benarkah yang Wayong katakan? Mengapa cepat sekali mereka pulang? Tidakkah mereka mendapatkan makanan untuk kami anak-anaknya? . Namun aku memahaminya, saat ini memang sudah sangat sulit mendapatkan makanan. Dahulu ayah dan ibu bilang bahwa saat mereka masih kecil cukup dengan mencapai pinggir pulau maka sudah ditemukan banyak makanan, namun sekarang harus terus menyusurinya ke tengah pulau, itupun belum tentu akan ditemukan.

Baca Juga : Cerpen : Ibu dalam Tangga Mimpi

Pagi itu Ayah menemuiku. “Aoa, Ayah kini begitu sulitnya mencari makanan di sini, bagaimana menurutmu jika kita pergi saja dari pulau ini? Ayah menemukan satu pulau yang cukup bagus, masih ada banyak makanan disana, Nak, laut disini sudah tidak bersahabat, hutan bakau ini pun sudah tidak lagi baik untuk kita, sudah tidak sehat untuk kita, sudah tidak seperti dulu lagi.” Ayah menundukkan wajahnya, menatap akar-akar pohon bakau yang selalu terlihat menyembul ke permukaan. Rasanya tak kuasa menjawab pertanyaan Ayah, sebab Ayah tahu aku suka di sini, sejak kecil aku belum pernah pindah ke pulau lain untuk menetap disana, karena aku memang tidak tertarik dimanapun, rasa nyaman telah mengalahkan rasa penasaranku akan pulau-pulau lain yang entah dimana itu.

Ayah berkata lagi “Jika terus disini kita bisa kelaparan, kita bisa mati karena mereka terus memburu kita.”
Kata-kata Ayah menyentak rasa takutku, aku teringat salahsatu rekanku yang hilang dua hari yang lalu karena rumahnya diserang dan dihancurkan kemudian ia ditangkap. Aku sungguh takut, namun kecintaanku akan rumah dan lingkungan yang aku tinggali sejak kecil membuatku mengurungkan rasa itu, membuatnya tak menguasaiku, sungguh aku mencintai rumahku, hutan bakau, daun-daun hijaunya yang cantik dengan tulang daun yang menyirip, laut yang tenang dengan airnya yang sungguh jernih, sebuah keseimbangan yang begitu agung telah diciptakan oleh Yang Maha Esa. Aku meyakinkan Ayah untuk bertahan dan berdoa agar tidak ada yang mengganggu kami, karena sungguh kami tak pernah mengusik kehidupan siapapun.


***
Sore itu di hutan bakau, dua orang laki-laki paruh baya menerobos hutan bakau di Pulau Bungkutoko, seorang diantara mereka adalah pengawal bagi seorang lainnya.
“Jadi, berapa hektar yang akan kita gusur Pak?”
“Sebanyak-banyaknya. Bakar saja tidak apa-apa.”
“Apa nanti tidak akan berbahaya Pak?”
“Tenang sajalah.”
Salahsatu dari mereka mengeluarkan sebuah senapan laras panjang
 “Pak, itu burungnya.”
“Mana?”
“Disana. Warna biru”

Laki-laki itu mengacungkan senjata yang baru dikeluarkannya, mengarahkannya pada seeokor burung yang hinggap di ranting sebuah pohon bakau, ia menembaknya hingga burung itu jatuh dan tersangkut di salah satu ranting. Ia mengambil burung itu sembari mengamatinya, tak lama setelah itu ia lemparkan burung tersebut hingga menyusup ke balik akar bakau, sungguh kejam.

“Disana masih ada, Pak.” Ucap lelaki itu lagi sembari menunjuk ke ranting pohon lainnya, telunjukknya mengarah kepadaku.

Jantungku berdebar kencang, segera kukepakkan sayapku untuk pergi, mereka mengejarku namun untung saja tembakannya tak mengenaiku. Lekas kucari saudaraku yang lainnya, mereka harus pergi segera, satu orang saudaraku baru saja ditembak mati, tak boleh ada korban lainnya. Namun setelah cukup lama berkeliling aku tak menemukan keluargaku, aku putus asa, kusinggahi kembali ranting-ranting bakau hingga kulihat kedua orang tadi tengah mengamati sebuah sangkar burung, astaga, ayah dan buku disana, teganya mereka. Apa yang harus kulakukan? Aku sungguh berat meninggalkan mereka namun aku benar-benar tak punya pilihan lain selain pergi.

Kini kuketahui mereka, mereka yang tinggal di tengah-tengah daratan pulau ini, pantas saja hutan bakau sering terjadi kebakaran, mereka lah yang membakarnya, mereka akan membangun permukiman bahkan pabrik diatas tanah bekas hutan bakau, mereka tak berpikir akan keberlangsungan makhluk hidup yang lainnya. Akibat orang-orang seperti mereka, hutan bakau ini sudah tak seperti dulu, sudah banyak sampah yang membuat ikan-ikan kecil tak lagi berjumpa dengan kami, entah kemana mereka pergi, sungguh aku merindukan ikan-ikan itu. Sepi rasanya Karena tinggal sedikit ikan yang mampu berkunjung ke daerah ini. Tak hanya itu, karena pohon bakau di pesisir rusak, seringkali terjadi erosi daratan, sedimentasi hingga intrusi air laut dan gelombang besar, gas karbon dan emisi gas rumah kaca  langsung dilepaskan ke atmosfer karna berkurangnya pengikatan gas tersebut oleh hutan bakau yang telah mereka gusur, kasihan hutanku dengan tumbuhannya, kasihan lautku beserta ikan-ikannya. Tolong kembalikan rumahku…!!! Kembalikan saudaraku…!!! Aku meneriakkannya dalam hati.

Aku berputar-putar, lelah rasanya menggerakkan sayap, tak tahu akan kemana sebab hutan-hutan lain juga sudah mulai berubah fungsi, pohon-pohonnya sudah tidak seramai dahulu lagi, sebab seringkali terjadi penebangan dan mereka tidak menanam kembali sebagai gantinya, padahal butuh waktu begitu lama untuk mengembalikan hutan mejadi seperti sedia kala. Aku berhenti sejenak di sebuah ranting pohon hingga kemudian sebuah batu kecil menubrukku dan kurasakan tubuhku melayang mengikuti gravitasi, Gelap.

Baca Juga : Flash Fiction : Pulang


***
Kampung Bajo, begitulah mereka menyebut daerah tempat tinggal mereka, mereka merupakan salahsatu suku  besar yang mendiami Pulau Sulawesi. Sejak dahulu mereka dikenal sebagai “orang laut” Karena mereka mengembangkan cara hidup yang unik dan bersifat maritim, lingkungan hidup mereka sangatlah dekat dengan laut sehingga mereka memanfaatkan laut sebagai sumber utama untuk bertahan hidup. Mereka pun tinggal berpindah pindah dari pulau ke pulau namun seiring berjalannya waktu mereka telah membuat tempat tinggal tetap yang terletak di pesisir karena juga masih menggantungkan hidup pada laut, mereka membuat rumah panggung dimana terdapat tiang-tiang kayu sebagai penyangga rumah, sedangkan dinding rumah dibuat dari papan, kini beberapa dari mereka sudah mengganti dinding papan menjadi dinding yang berbahan semen menandakan bahwa kehidupan mereka di pesisir ini semakin permanen.

Mataku terbuka, kepalaku terasa sedikit sakit, kulihat rumah-rumah panggung di depanku, aku menyadari sedang berada di teras salahsatu rumah yang juga merupakan rumah panggung, kulihat dari balik bilah-bilah bambu yang mengurungku, seorang pemuda tengah menata ikan-ikan hasil tangkapannya untuk dijemur hingga menjadi ikan asin. Biasanya dalam konsisi normal atau kondisi laut yang sedang baik, masyarakat di kampung ini akan menangkap hasil tangkapan ikan mereka 3 hari sekali dengan total tangkapan mencapai lebih dari satu ton, ikan-ikan tersebut akan langsung dijual, namun jika hasil tangkapan cukup banyak maka akan dijadikan ikan asin seperti yang dilakukan pemuda itu saat ini.  Ikan-ikan tersebut berbaris cukup rapi dengan beralaskan karung dan dibiarkan hingga mengering di atas papan-papan yang menjadi jembatan sebagai penghubung tiap rumah

Kalei namanya, pemuda berumur dua puluhan itu menatapku setelah aku mengeluarkan suara. Kulihat dari tatapannya bahwa ia adalah orang baik, tentu saja jika bukan orang baik maka tak mungkin aku masih hidup saat ini. Ia tidak menggunakan baju, hanya menggunakan sebuah celana pendek sebatas lutut sehingga bisa dilhat tubuhnya yang berwarna kuning keemasan karena sering dijilat matahari.

“Hai burung kecil.” Ucapnya setelah jarak wajahnya hanya lima belas senti meter dariku. Aku menghindarinya, mencari sudut lain dalam kurunganku, sebab aku tak biasa berinteraksi dengan manusia. “Kamu sudah sembuh kan, akan kubawa kamu kembali ke hutan bakau, kamu tenang saja ya, aku akan mengawasimu setiap minggu, aku kini sedang melakukan program konservasi disana. Kita akan kembalikan situasi ini seperti semula, hutan kita, laut kita, demi keseimbangan alam ini,”
Senyumnya merekah, diangkatnya kurunganku dan aku kini menuju lautku kembali.
Catatan :
  1. Lagu berjudul Peia Tawa-Tawa merupakan lagu asli Provinsi Sulawesi Tenggara
  2. Merupakan semboyan Provinsi Sulawesi Tenggara. Bolimo Karo Somanamo Lipu artinya mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi

Komentar

POPULAR POST