Cerpen : Sejarah Itu Terulang


Cerpen

“Ingat ya, kisah masa lalu adalah pelajaran untuk kita. Sejarah kelam jangan pernah terulang!”
Seorang Lelaki tiga puluhan tahun menyusun buku-buku tipis yang terlihat sedikit lusuh ke dalam sebuah rak yang terbuat dari papan. Selembar papan tulis ukuran paling mini menggantung di sebuah tiang penyangga atap seolah mengatakan ia sukses terpakai hari ini. Sembari itu pula puluhan anak-anak di hadapan lelaki itu mengeluarkan suara yang nyaris serempak.

“Iya Pak Guru!”
Suara yang penuh dengan semangat itu memenuhi gendang telinga siapapun yang ada di sana hingga menyebar ke alam sekitarnya. Memangnya siapa yang bisa menghalagi anak-anak itu bersuara sesuka mereka, toh tempat mereka ini hanyalah sebuah gazebo tanpa dinding permanen yang terletak diantara pohon yang cukup rindang, beberapa papan akan menjadi dinding yang menutupi tempat ini menjelang malam tiba. Buku-buku bacaan khusus untuk anak- anak tersusun rapi disana, siap menyambut siapa saja yang hendak mendapatkan ilmu darinya,  begitu sederhana dan tak sempurna, memangnya siapa yang sempurna selain sang pencipta?

“Pak guru tidak akan kesini lagi?” tanya seorang anak lelaki berumur empat tahun dengan nada lemas yang tak dibuat-buat, tangannya menggenggam erat jemari lelaki yang ia sebut Pak Guru itu, agaknya  Pak Guru yang ia maksud itu memang selalu mengunjungi ia teman-temannya ketika awal pekan tiba, selama dua tahun sudah hal itu terjadi hingga kehadiran Pak Guru begitu membekas di ingatannya, belum lagi di kehidupannya yang semakin berubah hari demi hari.

“Ocang jangan sedih ya, Pak Guru tetap akan kesini tapi hanya sekali-kali untuk melihat kondisi Ocang dan teman-teman, jaga bukunya baik-baik ya” jawab lelaki itu sambil mengelus kepala Ocang, anak-anak  yang lain pun segera menyusul Ocang, meminta agar Pak Guru mereka sering-sering berkunjung dan tak melupakan mereka, keharuan perpisahan pun tak terhindarkan. Apalah dikata kali ini perpisahan harus terjadi, bukankah perpisahan memang seringkali menjadi akhir dari pertemuan?

Ahmad adalah seorang guru yang dikenal sangat luar biasa, setidaknya itulah yang  tertulis pada  headline beberapa  surat kabar nasional yang berhasil meliputnya sebagai pendidik inspirasi bagi banyak orang, ia merupakan seorang guru honor yang mengajar di beberapa sekolah swasta dan negeri, sengaja tak ingin menjadi pegawai sipil pemerintah alias PNS sebab itu akan membuatnya menjadi hanya terfokus pada satu lingkungan perguruan saja, padahal ia ingin memiliki banyak waktu untuk menjelajahi banyak tempat dan mendidik banyak orang. Itulah mengapa kini ia mengabdikan ilmu pada sebuah desa yang cukup jauh dari kotanya. Desa ini, seperti desa lainnya, desa ini tidak hanya diajari namun dibina menjadi desa yang berpendidikan, akan tetapi ada yang spesial dengan desa ini sebab mayoritas masyarakatnya merupakan Suku Pedalaman yang terkenal jauh dari masyarakat luar dan lebih nyaman dengan kehidupan primitif yang jauh di dalam hutan.

***
“Wah luar biasa ya Mad, anak-anak ini” ujar Adi saat Ahmad mengendarai kotak bermesin dan beroda empat yang membawa mereka menembus hutan di atas tanah liat yang mengeras. Seperti biasanya setelah mengembalikan motor milik Kepala Desa, mereka akan melanjutkan perjalanan ke kota dengan Pajero Sport milik Ahmad. Adi adalah seorang teman Ahmad yang berprofesi sebagai dokter, sengaja diminta oleh Ahmad pada pertemuan kali ini untuk untuk mengecek kesehatan dan memantau perkembangan kebiasaan kesehatan anak-anak di desa.

“Iya Di, aku senang mereka jadi lebih maju dari banyak hal” ucap Ahmad begitu bangga dengan hasil yang dicapainya, tiada yang membahagiakannya sebagai seorang pendidik melainkan melihat anak didiknya yang semakin maju dan tak membuat mereka terus dalam sejarah yang kelam, ia selalu yakin akan ada yang bisa dirubah oleh  usaha yang maksimal.

“Aku masih ingat sekali pertama datang ke sana, mereka itu dulu…hmm…”
“Bau maksud kamu?” sela Ahmad sambil menyematkan senyum di pipinya.
“Haha iya Mad aku sangat ingat, tapi ya aku maklum karena mereka memang tak menyukai mandi, bersih-bersih dan sebagainya, mereka bahkan tidak suka pakaian yang lengkap. Tapi kini mereka benar-benar sudah berubah setidaknya 70  persen semakin bersih” jawab Adi sesekali menoleh pada Ahmad yang fokus mengendalikan setir.
Ahmad hanya tersenyum, begitu menikmati aktivitasnya hari ini. Ia merasa jika satu misi terasa cukup, maka akan selalu ada misi lain yang menanti, Indonesia yang luas dengan masih banyaknya daerah tak tersentuh tentu masih membutuhkan pendidikan dari para pendidik yang hebat, jika satu desa berpendidikan maka desa lainnya juga  harus berpendidikan. Ia melalui keyakinannya bertekad bahwa masa kelam keterbelakangan tak pantas diteruskan, jadikan ia sejarah yang hanya pantas dijadikan pengalaman. Ragam aktivitas Ahmad ini lah yang menghantarkannya pada berbagai penghargaan sebagai guru yang berhasil menjadi pelopor penggerak perubahan pendidikan di berbagai pelosok negeri, guru sejarah yang tentu saja belajar dari sejarah.


***
”Kamu di sini Le? mengapa tidak kabari Bapak?”
Le adalah anak lelaki semata wayang Ahmad, kasih sayang Ahmad begitu tercurahkan pada Le sejak kecil, hingga ketika anak lelakinya itu ingin menikah muda di usianya yang 18 tahun pun tak dapat ditolak oleh Ahmad. Meski demikian Le tidak serta merta menjadi lelaki tak terkendali, ia tetap menghargai ayahnya yang telah membesarkannya sejak kecil. Ketiadaaan ibunya membuat Le harus patuh pada ayahnya. Ia tak tahu persis tentang ibunya sebab ibunya sudah tidak ia jumpai semenjak mengetahui dirinya sendiri. Le hanya mengetahui bahwa ibunya sudah meninggalkan dia dan ayahnya, Le mungkin saja membenci ibunya namun ia tak tahu bagaimana caranya membenci hanya melalui sebuah foto dan cerita yang berseliweran di hidupnya selama ini.

“Bapak kan sedang di pedalaman, mana ada sinyal, jadi aku tunggu saja.” jawab pemuda itu yang tengah meletakkan bokongnya pada kursi kayu milik teras ayahnya.
“Mana istri dan anakmu?”  tanya Ahmad yang cukup heran mengapa anak lelakinya tidak membawa siapa-siapa.
“Tidak ada Pak, ada yang ingin aku bicarakan.”
Mereka lalu memasuki rumah sederhana Ahmad, selain memiliki hati yang penuh harap untuk membangun bangsa dan negara, Ahmad juga termasuk orang yang sederhana soal kebutuhan primer sekalipun.
“Pak, apakah Bapak tak kesepian? Bapak bisa mencari istri lagi.” Le memulai pembicaraan ketika ayahnya menyiapkan kopi hitam kesukaan mereka.
“Tidak, Bapak sudah bahagia Le, Bapak suka hidup Bapak.” Lelaki itu meletakkan kopi di depan anaknya.
“Tidak, Bapak tidak, bagaimana Bapak bisa memberikan kebahagiaan pada orang lain jika Bapak tak bahagia?”
“Buktinya anak-anak itu bahagia karna Bapak, lalu apakah itu artinya Bapak tak bahagia?” Ucapan Ahmad membuat Le termenung sesaat, lelaki muda itu seperti ingin menyampaikan suatu hal yang cukup berat dipikulnya. Mukanya berubah seiring kepalanya yang terus berpikir.
“Ada apa Le?” tanya Ahmad yang penasaran akan wajah aneh anak hari itu.
“Pak, maaf, aku sudah menceraikan istriku” ucap Le tiba-tiba setelah ia memastikan secangkir kopi hitam telah masuk seteguk ke dalam tubuh ayahnya.
“Apa?”
Sontak saja Ahmad membelalak, kebahagiaannya yang beberapa waktu lalu menguap seperti air mendidih kini berubah seperti air dingin. Ia bahkan berasumsi bahwa ia sedang bermimpi dan mungkin saja tertidur di rumah kepala desa tadi karena kelelahan, namun waktu yang terus bergulir membuatnya menyadari bahwa mimpi itu tak ada. Ia memandang laki-laki yang menjadi anaknya itu, masa lalu yang kelam di kepalanya kini seperti tampak terang benderang dan menyilaukan.

“Mengapa kau mengulangi hidupku Le, mengapa kau mengulangi sejarahku Le, sejarah kelam itu tak boleh terulang lagi.” Ahmad mulai terisak, rasa pedih itu menghujam di hatinya seperti ujung panah yang dilepas dengan tenaga penuh.

“Bapak, sejarah apa, aku tak paham. Bukankah Ibu yang meninggalkan kita, bukan Bapak yang meninggalkan Ibu?” Le semakin penasaran, sejarah? Apa yang sejarah berikan padanya selama ini? Apakah sejarah tak selalu berisi kebenaran? Lalu apakah ia harus percaya dengan sejarah? Beragam rasa semakin berkecamuk di hati pemuda itu.

“Aku menceraikan ibumu, ia membawamu bersamanya dan tak lama setelah itu ia meninggal. Aku baru menyadari semua ini salahku, aku membuatnya hancur.” Ahmad berhenti sejenak dari ceritanya. “Dan kau akan mengulanginya Le? Apapun alasannya aku tak akan pernah menerimanya.”

Ahmad menutupi matanya yang basah sambil berpikir meratapi nasib dan merasa bersalah pada hidupnya. Pertanyaan demi pertanyaan meyinggahi kepalanya, apakah benar ia pendidik sejarah yang berhasil membawa perubahan? Seperti yang surat kabar dan majalah itu ceritakan? Jika benar begitu mengapa itu tak terjadi di dalam keluarganya, di dalam kehidupannya. Selama ini ia merasa berhasil namun ternyata ia tak pernah berhasil, ia gagal di dalam sejarahnya sendiri. Tak di sangka matanya terus mengeluarkan air setes demi setetes.
“Pak, maaf, aku...”

“Harusnya seorang pendidik bisa mendidik keluarganya terlebih dahulu Le, bukan orang lain”

Komentar

POPULAR POST