Cerpen : Cinta Kah?



Krakkk
Lelaki itu kembali menginjak sesuatu yang berbunyi keras, apalagi jika bukan patahan kayu-kayu yang tak kuasa menahan berat. Patahan kayu itu hanya mampu merenungi nasib, tak ada kehidupan lagi baginya. Hanya tersisa beberapa carik dedaunan yang tampak masih hijau, berhasil luput dari buruan api, namun hanya soal waktu ia akan kering dan menjadi abu, hilang seperti yang lainnya. Dingin yang begitu terkenal itu kini tak lagi terasa dingin. Makmur yang kabarnya tersiar itu kini tak lagi terlihat makmur. Setidaknya di sini.

“Itu Uje...”
Seseorang dari ujung hamparan berteriak keras sambil memasang wajah nanar. Nama yang susah payah dicari sejak dini hari tadi tersebutlah sudah.


***
“Setelah ini apa, Bujang?”
Lelaki muda yang dipanggil Bujang itu menghela napas, masih di perjalanan, belum sampai ke peraduan, namun pertanyaan itu sudah diajukan. Dingin terasa menyelimuti sekitar, kaca mobil berembun. Rasanya baru tadi lelaki bernama Bujang itu melewati panas terik serta perumahan padat penduduk, nyatanya hiruk pikuk perkotaan telah tertinggal semakin jauh ke belakang.

Hanya satu jalan yang bisa dilalui, tidak lebar namun cukup mulus, tidak ada jalur alternatif apalagi jalur pintas, jalan ini melintasi bukit dan lembah serta di sampingnya terdapat jurang juga sungai-sungai dengan air yang segar. Bunga- bunga berbentuk terompet mulai tampak berjejer di tepi jalan menandakan bahwa daerah tujuan sudah semakin dekat. Sementara itu Gunung Masurai kini tampak semakin menjulang, begitu jelas saat mobil melaju di atas salah satu bukit.

Lelaki yang bernama Bujang itu belum bersuara, kini mobil menempuh hutan lebat yang merupakan bagian dari hutan lindung Taman Nasional Bukit Dua Belas, untuk kemudian sebuah suara hadir menyeka keheningan.

 “Seperti yang sudah kubilang sebelumnya, Pak.”
Hanya itu jawabannya. Bujang menoleh ke samping pada lelaki yang tengah menyetir, membaca situasi, tak ada yang berubah, tetap lengang, samar terdengar deru mobil dan motor yang sesekali menyalip kendaraan ini.

Tujuan mereka adalah sebuah desa yang cukup terpencil, butuh waktu kira-kira 5-8 jam perjalan darat untuk sampai ke bandara terdekat. Namun jangan salah, desanya kian hari kian terkenal dengan potensi pariwisata yang sangat indah serta posisi baiknya sebagai Ibu Kota Kecamatan. Muara Madras nama desa itu yang merupakan lokasi berakhirnya perjalanan ini. Perjalanan pulang yang membawa segudang hadiah perjuangan menuntut ilmu selama nyaris empat tahun di Ibu Kota Negara dengan gelar cumlaude. Pertanyaan demi pertanyaan begitu saja muncul dari kisah ini. Akankah hadiah perjuangan itu menambah rasa cinta pada kampung halaman hingga akan menetap? Atau sebaliknya, pergi meninggalkan? Entah, pemuda itu tak yakin dengan pertanyaannya.


***
“Bujang, Bapak pergi”
Mentari telah terbit saat Bujang dipanggil oleh bapaknya dari halaman rumah, pemuda itu berada di lantai 2 rumah yang terbuat dari kayu, desain rumah yang masih cukup tradisional, namun bukan lagi bermodel rumah panggung.

“Iya Pak.” Jawab lelaki itu.
Bapaknya adalah seorang kepala desa yang sibuk, cukup sering pihak luar mengunjungi desa ini, bapaknya mengurusnya satu persatu, ramah menerima tamu siapa saja. Setelah melepas kepergian Bapak, giliran Bujang yang pergi menuju sawah milik keluarganya, ibunya sudah lebih dulu tiba di sana, agaknya ibunya sempat bilang bahwa padi sebentar lagi akan siap dipanen.

Itulah yang paling menarik dari daerah ini, seluruh warganya menanam padi sawah. Tadah hujan ataupun irigasi sama saja, lokal ataupun hibrida juga sama saja, yang penting bersawah. Katanya malu jika tak bersawah, budaya yang digenggam sejak lama. Meski warganya memiliki usaha perkebunan dengan hasil yang lebih besar seperti kopi, kentang, cabai, hingga kulit manis, tapi padi tetap saja ditanam. Hasil padi itu dikonsumsi sendiri atau jika berlebih akan dijual, sebagiannya digunakan sebagai benih untuk tanam berikutnya.

Jika kalian pernah mendengarkan lagu yang mengatakan bahwa Indonesia adalah kolam susu, kail dan jala cukup menghidupimu. Tentu saja, daerah ini mampu menghidupi manusia dengan  tanahnya yang subur serta sungai jernih yang mengalir dari bukit-bukit. Tak perlu sering mengoreksi harga saham atau berlomba membangun gedung-gedung tinggi, daerah ini sudah memberikan hadiah terindahnya bagi kehidupan manusia, khas-nya Indonesia.

 “Kapan pergi, Nak?”
Bujang dan ibunya tengah berlindung dari terik matahari yang persis berada di atas kepala. Mereka berada di sebuah pondok sederhana beratapkan daun kelapa, benar saja sawah tengah menguning, beberapa hari lagi akan siap dipanen.

Pandangan Bujang menyelubungi hamparan sawahnya, sembari mengingat-ingat, ia memang tak akan lama tinggal. Tempat ini jelas indah namun ia masih punya mimpi yang harus dicapai, jurusan di perkuliahan yang ia ambil adalah jurusan favoritnya, teknik pertambangan, yang mana kampusnya telah bekerjasama dengan berbagai instansi di dalam dan luar negeri. Ia sebagai salah satu lulusan terbaik berhak memilih di mana saja ia akan bekerja. Kesempatan emas, meski terlihat samar-samar dengan warna keemasan dari padi-padi yang kini menguasai pandangannya.
“Lusa Mak” Bujang menjawab singkat.

Lelaki itu tak menoleh kemanapun, ini rumit bagi mereka, namun kesempatan tak datang dua kali. Kesempatan pergi menggenggam mimpi bekerja di perusahaan pertambangan ternama atau kesempatan tinggal membangun kampung halaman yang dicinta? Keduanya adalah kesempatan, namun tak bisa diambil bersamaan sebab dua kesempatan itu hadir dalam sisi mimpi yang berbeda.
Orang tua Bujang meinginkannya tetap di desa sebagai satu-satunya anak  lelaki dalam keluarga. Sementara kata menikah masih tak muncul-muncul dalam kamus Bujang. Bujang tak seperti  pemuda desa lainnya yang ketika masih SMP atau SMA jatuh cinta dan memilih menikah. Bujang adalah lelaki penuh harapan.

Di balik itu, masih ada satu harapan lainnya, cinta. Bujang memiliki cinta itu. Sekali menarik napas panjang, pemuda itu memantapkan hati. Rupanya rasa cintanya pada mimpi tetap akan membawanya pergi, meski ia yakin cinta juga yang akan membawanya kembali, entah kapan, itu urusan nanti.


***
Nyaris 2 tahun berlalu.
Bujang tak pernah kembali ke kampung halaman, hingga sesuatu datang dan membawanya kembali, tapi itu bukan karena cinta, melainkan karena sebuah kesalahan.

“Assalamualaikum, Bujang.” Suara itu melesat melalui sambungan telepon genggam.
“Hello, wa’alaikumsalam, who is there? I am Eddy.” Itulah suara balasan dari telepon seberang.
“Ini Pak Soleh, Bujang.”
“Eh…”

Bujang tersentak, Pak Soleh? Darimana penelepon itu tahu nama panggilan kecilnya? Bujang melirik sekilas handphonenya, kode Negara +62 yang terbaca di depan nomor, bukan +61 milik Australia daerah tempat tinggalnya kini. Itu berarti yang menelpon adalah seseorang dari Indonesia. Sesaat kemudian lelaki itu menimbang-nimbang dan mengingat nama itu.

“Pak Soleh, iya ini Bujang, ada apa Pak?”
Kali ini pemuda itu tidak menjawab dengan Bahasa Inggris, itu pamannya, ia ingat betul, hanya saja karena sudah 2 tahun tak bertemu membuatnya sedikit lupa akan suara itu. Ia terlalu asik menjadi pegawai perusahaan tambang emas besar di Negara Kangguru. Tak mudah untuk pulang, ia sudah dikontrak selama 2 tahun dan kini adalah masa-masa kontraknya akan habis, ia harus menjaga kualitas kerja agar bisa menjadi pegawai tetap, mimpinya belum sampai dua tahun, ia harus merasakan mimpi ini lebih lama lagi.

“Mengapa kau tak pulang Bujang?” Tanya lelaki di seberang telepon.
“Aku… aku tak bisa pulang Pak, karena...”
“Mengapa malah kau hancurkan desamu, Bujang?”
Bujang terhenyak, kaget, Bujang tak paham dengan  arah pembicaraan ini.
“Mereka menghancurkan hutan kita, Bujang”

Apa? menghancurkan apa? Bujang tak merasa melakukan apa-apa. Percakapan itu terhenti sesaat, Bujang mengambil waktu untuk berpikir. Beberapa waktu lalu ia tahu lewat kenalannya di Indonesia bahwa di sekitar desanya memiliki potensi timah atau tembaga, dekat perbukitan. Karena info itu Bujang menugaskan dan membiayai beberapa orang lewat perusahaannya untuk meneliti lebih lanjut, tak ada yang harus dikhawatirkan sebab itu hanya penelitian.

“Hutan adat kita terbakar Bujang, termasuk di Bukit Dua Belas, penduduk tak suka orang asing, keadaan desa kacau Bujang”

Napas Bujang sesak, ia kalut, bukan itu yang ia inginkan. Meski ia tahu desanya memang masih asri, kental dengan adat gotong royong dan tak terlalu suka dengan orang asing, tapi itu bukan masalah jika penelitian dilakukan sesuai prosedur. Hutan terbakar? Tentu itu menimbulkan masalah besar. Hutan merupakan hal penting di desanya yang harus dijaga bersama karena masyarakat percaya adanya hutan akan memberikan mereka kebaikan hidup. Sementara itu seminggu terakhir ia belum menerima konfirmasi apapun dari peneliti yang ia tugaskan.

“Kami sedang mengurusi hutan yang terbakar, tak hendakkah kau pulang Bujang? Ini salahmu.”
‘Bukan’ Bujang menggerutu dalam hati, ia tak pernah berniat melakukan itu, juga pulang, itu terlalu mendadak, ia bahkan hampir naik jabatan.

“Aku masih sangat banyak urusan di sini Pak.” Ujar Bujang akhirnya.
“Baiklah, terserah saja Bujang, rasa cinta kami padamu saat membiarkanmu pergi rupanya tak bisa membuatmu juga kembali karena mencintai kami. Jaga saja diri baik-baik Bujang, tak usah kirimkan perusak ke sini, cukuplah begitu Bujang.”
“Aku tak bermaksud, Pak. Aku…. “
“Teleponnya mahal Nak, Bapak tutup Nak, Assalamualaikum.”

Bujang menjawab salam itu dari hati, mematung di meja kerjanya, berkas-berkas pekerjaan serta layar monitor yang masih menyala menempati meja itu. Bujang berusaha menghubungi penelitinya tapi hasilnya nihil. Akankah ia pulang dalam kondisi seperti ini? Keraguan memuncaki hatinya. Satu jam berlalu begitu saja, namun rupanya cukup membawa  pergi keraguan itu lamat-lamat, memudar, menyisakan satu rasa yang muncul dari dasar hatinya, rasa yang sejatinya tak pernah hilang, hanya tertimbun oleh perasaan lain. Perasaan itulah yang kemudian  mendesaknya.


***
Setelah menerima telepon dari pamannya di pagi hari, Bujang langsung menaiki pesawat udara menuju Jakarta untuk transit, kemudian sampai di Bandara Provinsi Jambi. Perjalanan itu dilanjutkan dengan menempuh perjalanan darat 8 jam menuju desanya. Bujang telah mendapat info tentang keberadaan penelitinya, mereka sedang di tahan oleh kepolisian Jambi, masalahnya simpel, puntung rokok, tapi jumlahnya tidak sedikit.  Kesal sekali hatinya. Malamnya Bujang sampai, namun rupanya situasi sangat mengejutkannya, pasalnya Uje bapaknya hilang dari tadi pagi, membantu pemadam kebakaran hingga ke dalam hutan.  Hanya panik dan sedih yang ia rasa hingga bapaknya ditemukan kemudian.


***
“Kapan kamu akan pergi lagi, Bujang?”
Uje berjalan menjauh dari lokasi kebakaran dengan kaki yang sedikit pincangbakibat insiden di dalam hutan, Bujang memapahnya. Pertanyaan bapaknya membuat hati Bujang teriris, baru saja ia sampai sudah ditanya kapan pergi.

“Kalau kamu hendak pulang, pulanglah karena cinta pada tanah lahirmu”

Bujang tak paham, sebetulnya ia sangat mencintai desanya karena itulah ia berusaha menggali potensi desanya, ingin  memajukan desa dari sisi keahliannya, namun kini kepulangannya karena apa? Rasa bersalah? Bujang merenungi situasi itu dalam-dalam, mengorek sisa-sisa perasaan di hatinya. Hatinya memang terasa sakit namun kemudian ia  memahami sesuatu.

Cinta bukan hanya soal pulang dari kepergian, tak cukup hanya soal itu. Cinta adalah soal bagaimana engkau menghargai dan menjaga apa yang kau cintai. Jika benar engkau cinta pada dirimu sendiri tentu engkau akan menjaga dirimu, jika engkau benar cinta pada keluargamu tentu engkau juga kan menjaga keluargamu, jika benar engkau cinta pada negerimu tentu tak kau tinggalkan negerimu, kau akan terus menjaganya, tak rela satu senti pun milik negerimu direnggut dan jauh dari penjagaanmu. Itulah cinta. Menjaga.

Bujang termenung sembari terus  memapah bapaknya.

“Aku pergi besok pagi, Pak”
Bujang menghela napas panjang, kembali memantapkan hati, ia memang akan pulang karena cintanya pada tanah airnya, tapi bukan sekarang, karena sekarang ia masih dalam tahap menuntut ilmu melalui pengalamannya. Untuk kemudian ia benar-benar membawa segudang ilmu itu, dari studinya ditambah dari pekerjaannya. Ia memang melakukan kesalahan tapi cukup untuk menjadi pelajaran tambahan baginya.

Cinta kah Bujang pada tanah airnya? Indonesianya? Tentu, dia cinta.

Komentar

POPULAR POST