Cerpen : Berburu Sumbun di Kampung Laut
![]() |
img. jalanbareng.com |
Suara berisik itu sudah sampai
di depan pintu rumah. Hasan, anak lelaki itu mendengarnya jelas. Ia tengah
meringkuk tepat di balik pintu, wajahnya pilu, air matanya mulai meluap dari
kelopak matanya. Kedua tangannya gatal ingin meraih gagang pintu, mulutnya pun
ingin mengeluarkan suara, namun ingatannya kembali ke beberapa jam lalu, ketika
tadi siang sebuah vas bunga tembikar yang dicat warna merah muda, terlepas dari
genggamannya sehingga membuat vas bunga tersebut jadi terbelah dua. Vas bunga
itu milik ibunya yang pada dasarnya memang sudah retak sebab sudah lama
disimpan. Tapi sialnya vas bunga itu menyimpan kenangan masa silam ketika ibu
dan almarhum ayahnya dulu masih berpacaran. Ah rumit sekali kalau diceritakan.
Ibunda Hasan memang seorang penggemar
bunga terutama bunga mawar. Koleksi bunga mawarnya sangat banyak, bunga mawar
warna merah adalah kesukaannya, namun setelah ayah Hasan wafat, ibunya lebih
suka menanam bunga mawar putih.
Ketika mengetahui vas bunga
kesayangannya hancur, tentu saja ibu Hasan marah.
“Kamu gak boleh keluar rumah
hari ini”
Itu kata-kata terakhir yang
keluar dari mulut ibunya tadi siang, padahal sore ini Hasan dan teman-temannya
akan berburu sumbun. Suara teman-temannya terus memanggil, namun Hasan tak bisa
berbuat apa-apa.
“Hasan, kamu gak boleh main
ya?”
Tanya seseorang dari balik
pintu.
Tuk Tuk. Hasan membalas ucapan
itu dengan ketukan tangannya di pintu kayu yang membatasi mereka. Suara di luar
rumah langsung terdengar berbisik-bisik.
Tiba-tiba saja ibu Hasan
keluar dari dapur menuju pintu. Hasan bergeser dan membiarkan ibunya membuka
pintu. Ada 5 orang di depan rumah, mereka semua adalah teman sekolah Hasan, teman
sekelasnya di kelas 6 SD. Kini mereka semua terdiam, takut. Mata ibunya menatap
ke anaknya, Hasan, lalu berbalik lagi ke teman-teman Hasan.
“Hemm,, yaudah pergilah,
pulang sebelum magrib” perintah ibunya.
“Horeeeeee”
Suara semakin ramai, Hasan
bergegas mengambil sebilah bambu yang sudah dipotong panjang seperti lidi, lalu
mengambil plastik yang berisikan kapur sirih. Kedua bahan itu adalah amunisi
untuk berburu hari ini, setelah semua perlengkapan siap, mereka pergi menuju
beting tempat dimana sumbun berada.
Sumbun adalah sejenis kerang
yang berbentuk seperti bambu. Kerang ini hanya ada di daerah tepi laut dan
biasa hidup di perairan berlumpur seperti di daerah Kampung Laut di Kabupaten
Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi. Menurut informasi, sumbun secara umum dikenal
di China, Kalimantan Barat, Perairan di Provinsi Jambi serta Kepulauan Riau.
Hasan dan 5 orang temannya
menyusuri jalanan desa yang seluruhnya terbuat dari papan-papan dan dipasang sekitar
2-3 meter dari tanah. Semua rumah di kampungnya memang berkonsep rumah
panggung, hal itu karena menyesuaikan kondisi tempat tinggal mereka yang berada
di tepi laut sehingga saat air laut pasang, air tak akan memasuki rumah karena
posisi rumah dan jalanan yang lebih tinggi. Saat air pasang, kampungnya akan
terlihat seperti kampung di atas air.
![]() |
img. liputan6.com |
Saat sudah sampai di beting,
Hasan dan teman-temannya mencari dimana kira-kira sumbun berada, untuk
mengetahui pasti dimana letak lubang persembunyian sumbun, biasanya terdapat
kotoran di tepi-tepi lubangnya yang berada di atas lumpur atau pasir. Hasan
mengeluarkan bambunya lalu mengoleskan ujung bambu dengan kapur sirih yang
dibawanya, bambu tersebut lalu dimasukkan ke dalam lubang, tak lama kemudian
sumbun muncul ke permukaan. Mereka pun dengan mudah menangkapnya.
Kecerian terus menerus
menghiasi pencarian sumbun sore ini namun tiba-tiba saja Hasan merasakan
sesuatu di kakinya, ia susah berjalan sebab kakinya tertimbun lumpur yang
semakin lama semakin dalam. Hasan mencoba untuk mengeluarkan kakinya dari
lumpur namun lumpur semakin lama malah semakin menariknya ke dalam. Waktu sudah
hampir magrib. Teman-temannya tak kelihatan. Hasan berusaha meminta tolong
“Tolong… Tolong, kakiku”
-
Tang Ting Tung… Tang Ting Tung
“Hah”
Aku membuka mataku, tubuhku
berkeringat. Sepertinya aku mimpi buruk. Aku ingat itu adalah momen dulu saat aku masih kecil bersama teman-teman di kampungku. Kulihat jam di dinding menunjukkan
pukul 18.30 WIB, ya, ternyata aku tertidur saat magrib, suara handphone membuatku terjaga.
Kulihat handphone dan mendapati pesan dari adikku Lia.
“Bang, minggu ini jadi pulang
kan? Kita berburu sumbun”
Aku menghela napas,
akhir-akhir ini aku sibuk kuliah sehingga lupa bahwa Lia memintaku pulang
kampung dan berburu sumbun bersamanya. Lia adalah adikku satu-satunya, dia
masih SMP, hanya dia dan ibuku lah keluargaku saat ini. Untuk membahagiakannya
aku berjanji akan sering pulang. Karena itu aku akan pulang kampung satu bulan
sekali. Kebetulan bulan ini terlalu banyak tugas di kampus sehingga
mengurungkan niatku untuk pulang, aku bahkan tertidur diantara buku-buku yang
kubaca untuk persiapan ujian besok.
“Iya lusa hari sabtu dan
minggu Abang pulang” Kataku membalas pesan Lia.
***
Hari Jumat sore. Janji itu
kutepati, kampusku berjarak 3 jam perjalanan darat dari kampungku, maka untuk
pulang kampung aku selalu menggunakan motorku. Untungnya ujianku telah selesai
di hari jumat dan sorenya aku bisa memulai perjalanan pulang.
Sesampainya di Kampung Laut
mendekati malam hari, aku selalu disambut dengan hangat oleh Ibu dan Lia,
rupanya Ibu sudah memasak makanan untukku, kalau di kampung, makanan laut akan
jadi makanan yang biasa dilihat, ikan dan udang jadi incaran orang luar yang
berkunjung ke kampung kami. Hari ini ibu memasak sambal udang, enak sekali.
Ohya ibuku menjadi salah satu penjual hasil laut di kampung kami.
“Bagaimana ujiannya Hasan?” Tanya
ibuku di sela makan malam kami.
“Sudah selesai Bu, tapi belum
bisa libur karena Hasan ada tugas lain yang belum selesai, tugas kelompok
dengan teman-teman” kataku.
Ibu hanya mengangguk
“Bang, besok kita jadi berburu
sumbun?” Tanya Lia.
“Iya, tapi abang lihat kok
kayaknya awan mendung ya? Bukannya musim kemarau?” tanyaku.
“Iya Bang, memang akhir-akhir
ini beberapa kali hujan lebat” jawab Lia.
Aku hanya memikirkan perkataan
Lia. Memang pemanasan global telah membuat cuaca jadi berubah-ubah. Padahal dulu
berburu sumbun bisa dilakukan sampai sebulan penuh karena memang musim kemarau,
tapi kini sudah susah diterka. Bahkan aku sudah tak tahu kapan tepatnya musim
kemarau dan musim hujan itu terjadi.
Pagi harinya, benar saja awan
mendung yang menyelimuti kampung sudah menumpahkan airnya, deras sekali. Tak terasa
air laut mulai meninggi, aku bisa melihatnya dari sela papan lantai rumah, air
sudah membuat rumahku seolah mengapung di atas air.
Kulihat Lia menatap hujan yang
datang, hujan memang menyebarkan keberkahan namun Lia pasti tetap sedih karna tidak jadi
berburu sumbun. Dan tentu akan lama lagi menunggu saatnya tepi laut mengering untuk
berburu lagi.
“Maaf ya Bang, Lia kira masih
kemarau” ucap Lia dengan raut wajah sedihnya
“Tidak apa-apa, kan sudah lama
juga abang gak pulang-pulang. Eh kok kayak Bang Toyib”
“Hahaha” Lia dan aku tertawa
bersama.
“Iya. Mungkin enak ya Bang
kalau kita bisa tahu kapan musim kemarau sehingga bisa berburu sumbun” kata Lia
lagi.
Ucapan Lia membuat aku berpikir,
memang kita harus beradaptasi dengan semua keadaan. Aku juga miris karena
sekarang berburu sumbun sudah tidak sering lagi dilakukan orang-orang di
kampungku secara beramai-ramai. Mungkin karena cuaca yang susah diprediksi jadi
susah juga untuk menentukan tanggal pasti kapan bisa beramai-ramai mengunjungi
beting. Sebab untuk mengumpulkan masa butuh waktu yang tidak sebentar. Tapi kupikir
lagi, harusnya dengan ada peningkatan teknologi komunikasi bisa membuat hal-hal
yang dulunya rumit jadi sederhana.
“Lia, Abang punya ide, tapi
butuh bantuan Lia” otakku berpikir keras
“Apa Bang?” Lia tampak
penasaran
“Sekarang kan zamannya
internet, jadi kita harus memanfaatkannya. Manfaat
internet itu bisa untuk memperkecil miss komunikasi, membuat hubungan jadi
lebih dekat, dan tentu saja informasi jadi lebih cepat” Aku berpikir sejenak. “Abang
ingin memasang wifi IndiHome dari Telkom Indonesia, supaya internet Lia
lancar”
“Memangnya bisa pasang di sini
Bang?” Lia memotong pembicaraan.
“Bisa. IndiHome itu kan Internetnya Indonesia, bisa menjangkau
sampai jauh ke pelosok-pelosok. Jadi kita bisa mendapat manfaat tak terbatas
internetnya Indonesia. Nantinya Lia akan mengelola web khusus yang memuat
informasi seputar Kampung Laut dan tradisi berburu sumbun. Jadi, orang-orang
luar akan tahu kapan saja waktu berburu sumbun dilakukan, gak ada lagi tuh perencanaan
yang memakan waktu berbulan-bulan. ini juga akan menarik wisatawan untuk lebih
sering mengunjungi Kampung Laut dan bisa mendongkrak perekonomian dari segi
pariwisata.”
“Hemm begitu” Lia merespon. Wajahnya
tampak bingung.
“Ohya belum lagi kalau
penduduk kampung sedang panen banyak hasil laut, gak perlu lagi takut stok
tidak habis, nanti bisa diinformasikan juga lewat web tersebut”
“Boleh juga” Jawab Lia.
“Oke besok abang akan ke
kantor desa dan menyatakan ide yang abang punya ini”
Lia hanya mengangguk.
Dua bulan kemudian, benar,
Kampung Laut jadi sangat ramai, informasi tentang sumbun semakin meluas, pasar-pasar yang menjual ikan dan hasil laut
lainnya jadi semakin banyak, penduduk Kampung Laut sangat bersyukur karena mereka
sangat terbantu dengan adanya informasi masif yang menyebar ke penduduk di luar
kampung sehingga semakin banyak orang-orang dari luar kampung yang berkunjung. Tak hanya itu, ibu Hasan yang merupakan salah satu penjual hasil laut juga ikut merasakan dampaknya. Hasan pun sering sekali mendapat terimakasih dari perangkat desa Kampung Laut karena telah berjasa dalam memajukan perekomian di kampungnya.
***
Plak…..
Aduh.
Tiba-tiba tanganku reflek
memukul sesuatu di kakiku, ternyata ada nyamuk yang sudah menghisap banyak
darah. Ah rupanya tadi aku hanya menghayal. Tapi khayalanku boleh juga ya. J
Bacaan :
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbkepri/tradisi-nyumbun-menjaga-laut/
https://halojambi.id/index.php/opini/1297-berburu-sumbun-di-negeri-pelaut
https://www.liputan6.com/regional/read/2514744/tradisi-unik-suku-duano-di-tepi-sungai-jambi
Komentar
Posting Komentar