Cerpen : Berburu Sumbun di Kampung Laut

 



img. jalanbareng.com

“Hasan.. Hasan.. Ayok…!!!”

Suara berisik itu sudah sampai di depan pintu rumah. Hasan, anak lelaki itu mendengarnya jelas. Ia tengah meringkuk tepat di balik pintu, wajahnya pilu, air matanya mulai meluap dari kelopak matanya. Kedua tangannya gatal ingin meraih gagang pintu, mulutnya pun ingin mengeluarkan suara, namun ingatannya kembali ke beberapa jam lalu, ketika tadi siang sebuah vas bunga tembikar yang dicat warna merah muda, terlepas dari genggamannya sehingga membuat vas bunga tersebut jadi terbelah dua. Vas bunga itu milik ibunya yang pada dasarnya memang sudah retak sebab sudah lama disimpan. Tapi sialnya vas bunga itu menyimpan kenangan masa silam ketika ibu dan almarhum ayahnya dulu masih berpacaran. Ah rumit sekali kalau diceritakan.

Ibunda Hasan memang seorang penggemar bunga terutama bunga mawar. Koleksi bunga mawarnya sangat banyak, bunga mawar warna merah adalah kesukaannya, namun setelah ayah Hasan wafat, ibunya lebih suka menanam bunga mawar putih.

Ketika mengetahui vas bunga kesayangannya hancur, tentu saja ibu Hasan marah.

“Kamu gak boleh keluar rumah hari ini”

Itu kata-kata terakhir yang keluar dari mulut ibunya tadi siang, padahal sore ini Hasan dan teman-temannya akan berburu sumbun. Suara teman-temannya terus memanggil, namun Hasan tak bisa berbuat apa-apa.

“Hasan, kamu gak boleh main ya?”

Tanya seseorang dari balik pintu.

Tuk Tuk. Hasan membalas ucapan itu dengan ketukan tangannya di pintu kayu yang membatasi mereka. Suara di luar rumah langsung terdengar berbisik-bisik.

Tiba-tiba saja ibu Hasan keluar dari dapur menuju pintu. Hasan bergeser dan membiarkan ibunya membuka pintu. Ada 5 orang di depan rumah, mereka semua adalah teman sekolah Hasan, teman sekelasnya di kelas 6 SD. Kini mereka semua terdiam, takut. Mata ibunya menatap ke anaknya, Hasan, lalu berbalik lagi ke teman-teman Hasan.

“Hemm,, yaudah pergilah, pulang sebelum magrib” perintah ibunya.

“Horeeeeee”

Suara semakin ramai, Hasan bergegas mengambil sebilah bambu yang sudah dipotong panjang seperti lidi, lalu mengambil plastik yang berisikan kapur sirih. Kedua bahan itu adalah amunisi untuk berburu hari ini, setelah semua perlengkapan siap, mereka pergi menuju beting tempat dimana sumbun berada.

Sumbun adalah sejenis kerang yang berbentuk seperti bambu. Kerang ini hanya ada di daerah tepi laut dan biasa hidup di perairan berlumpur seperti di daerah Kampung Laut di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi. Menurut informasi, sumbun secara umum dikenal di China, Kalimantan Barat, Perairan di Provinsi Jambi serta Kepulauan Riau.

Hasan dan 5 orang temannya menyusuri jalanan desa yang seluruhnya terbuat dari papan-papan dan dipasang sekitar 2-3 meter dari tanah. Semua rumah di kampungnya memang berkonsep rumah panggung, hal itu karena menyesuaikan kondisi tempat tinggal mereka yang berada di tepi laut sehingga saat air laut pasang, air tak akan memasuki rumah karena posisi rumah dan jalanan yang lebih tinggi. Saat air pasang, kampungnya akan terlihat seperti kampung di atas air.

img. liputan6.com
Bulan ini adalah musim kemarau. Maka saat ini lah saat yang tepat untuk berburu sumbun karena sumbun akan mudah didapatkan ketika air laut surut. Mereka segera menuju ke beting dimana tempat sumbun berada. Saat di perjalanan mereka bertemu dengan banyak warga kampung yang sudah berburu duluan. Untuk diketahui berburu sumbun ini merupakan sebuah tradisi dari Suku Duano yakni suku asli Kampung Laut dimana tradisi ini masih dipertahankan oleh masyarakat sekitar.


Saat sudah sampai di beting, Hasan dan teman-temannya mencari dimana kira-kira sumbun berada, untuk mengetahui pasti dimana letak lubang persembunyian sumbun, biasanya terdapat kotoran di tepi-tepi lubangnya yang berada di atas lumpur atau pasir. Hasan mengeluarkan bambunya lalu mengoleskan ujung bambu dengan kapur sirih yang dibawanya, bambu tersebut lalu dimasukkan ke dalam lubang, tak lama kemudian sumbun muncul ke permukaan. Mereka pun dengan mudah menangkapnya.

Kecerian terus menerus menghiasi pencarian sumbun sore ini namun tiba-tiba saja Hasan merasakan sesuatu di kakinya, ia susah berjalan sebab kakinya tertimbun lumpur yang semakin lama semakin dalam. Hasan mencoba untuk mengeluarkan kakinya dari lumpur namun lumpur semakin lama malah semakin menariknya ke dalam. Waktu sudah hampir magrib. Teman-temannya tak kelihatan. Hasan berusaha meminta tolong

“Tolong… Tolong, kakiku”

-

Tang Ting Tung… Tang Ting Tung

“Hah”

Aku membuka mataku, tubuhku berkeringat. Sepertinya aku mimpi buruk. Aku ingat itu adalah momen dulu saat aku masih kecil bersama teman-teman di kampungku. Kulihat jam di dinding menunjukkan pukul 18.30 WIB, ya, ternyata aku tertidur saat magrib, suara handphone membuatku terjaga.

Kulihat handphone dan mendapati pesan dari adikku Lia.

“Bang, minggu ini jadi pulang kan? Kita berburu sumbun”

Aku menghela napas, akhir-akhir ini aku sibuk kuliah sehingga lupa bahwa Lia memintaku pulang kampung dan berburu sumbun bersamanya. Lia adalah adikku satu-satunya, dia masih SMP, hanya dia dan ibuku lah keluargaku saat ini. Untuk membahagiakannya aku berjanji akan sering pulang. Karena itu aku akan pulang kampung satu bulan sekali. Kebetulan bulan ini terlalu banyak tugas di kampus sehingga mengurungkan niatku untuk pulang, aku bahkan tertidur diantara buku-buku yang kubaca untuk persiapan ujian besok.

“Iya lusa hari sabtu dan minggu Abang pulang” Kataku membalas pesan Lia.

***

Hari Jumat sore. Janji itu kutepati, kampusku berjarak 3 jam perjalanan darat dari kampungku, maka untuk pulang kampung aku selalu menggunakan motorku. Untungnya ujianku telah selesai di hari jumat dan sorenya aku bisa memulai perjalanan pulang.

Sesampainya di Kampung Laut mendekati malam hari, aku selalu disambut dengan hangat oleh Ibu dan Lia, rupanya Ibu sudah memasak makanan untukku, kalau di kampung, makanan laut akan jadi makanan yang biasa dilihat, ikan dan udang jadi incaran orang luar yang berkunjung ke kampung kami. Hari ini ibu memasak sambal udang, enak sekali. Ohya ibuku menjadi salah satu penjual hasil laut di kampung kami.

“Bagaimana ujiannya Hasan?” Tanya ibuku di sela makan malam kami.

“Sudah selesai Bu, tapi belum bisa libur karena Hasan ada tugas lain yang belum selesai, tugas kelompok dengan teman-teman” kataku.

Ibu hanya mengangguk

“Bang, besok kita jadi berburu sumbun?” Tanya Lia.

“Iya, tapi abang lihat kok kayaknya awan mendung ya? Bukannya musim kemarau?” tanyaku.

“Iya Bang, memang akhir-akhir ini beberapa kali hujan lebat” jawab Lia.

Aku hanya memikirkan perkataan Lia. Memang pemanasan global telah membuat cuaca jadi berubah-ubah. Padahal dulu berburu sumbun bisa dilakukan sampai sebulan penuh karena memang musim kemarau, tapi kini sudah susah diterka. Bahkan aku sudah tak tahu kapan tepatnya musim kemarau dan musim hujan itu terjadi.

Pagi harinya, benar saja awan mendung yang menyelimuti kampung sudah menumpahkan airnya, deras sekali. Tak terasa air laut mulai meninggi, aku bisa melihatnya dari sela papan lantai rumah, air sudah membuat rumahku seolah mengapung di atas air.

Kulihat Lia menatap hujan yang datang, hujan memang menyebarkan keberkahan namun Lia pasti tetap sedih karna tidak jadi berburu sumbun. Dan tentu akan lama lagi menunggu saatnya tepi laut mengering untuk berburu lagi.

“Maaf ya Bang, Lia kira masih kemarau” ucap Lia dengan raut wajah sedihnya

“Tidak apa-apa, kan sudah lama juga abang gak pulang-pulang. Eh kok kayak Bang Toyib”

“Hahaha” Lia dan aku tertawa bersama.

“Iya. Mungkin enak ya Bang kalau kita bisa tahu kapan musim kemarau sehingga bisa berburu sumbun” kata Lia lagi.

Ucapan Lia membuat aku berpikir, memang kita harus beradaptasi dengan semua keadaan. Aku juga miris karena sekarang berburu sumbun sudah tidak sering lagi dilakukan orang-orang di kampungku secara beramai-ramai. Mungkin karena cuaca yang susah diprediksi jadi susah juga untuk menentukan tanggal pasti kapan bisa beramai-ramai mengunjungi beting. Sebab untuk mengumpulkan masa butuh waktu yang tidak sebentar. Tapi kupikir lagi, harusnya dengan ada peningkatan teknologi komunikasi bisa membuat hal-hal yang dulunya rumit jadi sederhana.

“Lia, Abang punya ide, tapi butuh bantuan Lia” otakku berpikir keras

“Apa Bang?” Lia tampak penasaran

“Sekarang kan zamannya internet, jadi kita harus memanfaatkannya. Manfaat internet itu bisa untuk memperkecil miss komunikasi, membuat hubungan jadi lebih dekat, dan tentu saja informasi jadi lebih cepat” Aku berpikir sejenak. “Abang ingin memasang wifi IndiHome dari Telkom Indonesia, supaya internet Lia lancar”

“Memangnya bisa pasang di sini Bang?” Lia memotong pembicaraan.

“Bisa. IndiHome itu kan Internetnya Indonesia, bisa menjangkau sampai jauh ke pelosok-pelosok. Jadi kita bisa mendapat manfaat tak terbatas internetnya Indonesia. Nantinya Lia akan mengelola web khusus yang memuat informasi seputar Kampung Laut dan tradisi berburu sumbun. Jadi, orang-orang luar akan tahu kapan saja waktu berburu sumbun dilakukan, gak ada lagi tuh perencanaan yang memakan waktu berbulan-bulan. ini juga akan menarik wisatawan untuk lebih sering mengunjungi Kampung Laut dan bisa mendongkrak perekonomian dari segi pariwisata.”

“Hemm begitu” Lia merespon. Wajahnya tampak bingung.

“Ohya belum lagi kalau penduduk kampung sedang panen banyak hasil laut, gak perlu lagi takut stok tidak habis, nanti bisa diinformasikan juga lewat web tersebut”

“Boleh juga” Jawab Lia.

“Oke besok abang akan ke kantor desa dan menyatakan ide yang abang punya ini”

Lia hanya mengangguk.

Dua bulan kemudian, benar, Kampung Laut jadi sangat ramai, informasi tentang sumbun semakin meluas, pasar-pasar yang menjual ikan dan hasil laut lainnya jadi semakin banyak, penduduk Kampung Laut sangat bersyukur karena mereka sangat terbantu dengan adanya informasi masif yang menyebar ke penduduk di luar kampung sehingga semakin banyak orang-orang dari luar kampung yang berkunjung. Tak hanya itu, ibu Hasan yang merupakan salah satu penjual hasil laut juga ikut merasakan dampaknya. Hasan pun sering sekali mendapat terimakasih dari perangkat desa Kampung Laut karena telah berjasa dalam memajukan perekomian di kampungnya.

***

Plak…..

Aduh.

Tiba-tiba tanganku reflek memukul sesuatu di kakiku, ternyata ada nyamuk yang sudah menghisap banyak darah. Ah rupanya tadi aku hanya menghayal. Tapi khayalanku boleh juga ya. J

 

 

 

 

 

Bacaan :

https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbkepri/tradisi-nyumbun-menjaga-laut/

https://halojambi.id/index.php/opini/1297-berburu-sumbun-di-negeri-pelaut

https://www.liputan6.com/regional/read/2514744/tradisi-unik-suku-duano-di-tepi-sungai-jambi

Komentar

POPULAR POST