BAHAGIA SEDERHANA (Part 1)
Dua bola mata kecil itu menatap
lurus ke utara, arah dimana rumah ini menghadap, terpampang halaman berukuran
cukup luas yang mana bagian permukaannya didominasi oleh tanah merah
kecoklatan. Bunga asoka telah menumpang hidup cukup lama di halaman ini, terlihat
dari cabang-cabangnya yang telah seukuran rata-rata lengan bocah berumur lima
tahun, daun-daun hijaunya terus tumbuh tidak sekehendaknya namun hanya hingga
batas tertentu sebab pertumbuhannya akan dihadang oleh gunting rumput setiap
akhir pekan jika melewati batas yang ditentukan olehku. Rumpun rimbun bunga
asoka ini selain sebagai penghias rumah, juga berfungsi sebagai pagar rumah, rumpun
yang kurawat dengan sepenuh hati, mencukupi kebutuhan cairannya setiap hari, memperhatikan
tingginya setiap hari, memastikan tidak ada daun yang tumbuh melebihi batas
yang kutetapkan sedari dulu. Rumpun ini, tempatku menyembunyikan hasil-hasil
ujian yang diberi nilai dengan pena merah, Ayah akan menjumpai kertas itu
seminggu kemudian lalu memarahiku sebentar, untuk apa marah lama-lama toh sudah
seminggu berlalu.
Ia, rumpun asoka, teman bisuku yang
setia hidup menumpang disana. ia mengelilingi halamanku yang berukuran lima
kali lima meter persegi tepat di tepi jalan setapak yang bernama gang bahagia.
Nama gang ini merupakan usulan dari ketua RT puluhan tahun lalu yang berharap
akan tumbuhnya kebahagiaan bagi penghuni rumah-rumah yang dilewati oleh gang
ini. Di sisi kiri berdiri tegak dan kokoh
3 batang pohon pinang. Tak banyak yang bisa dihasilkan oleh pohon pinang ini,
namun jika mereka berbuah dan dijual ke pasar, cukup jugalah untuk menambah
pundi-pundi uang bagi hidup kami yang pas-pasan di rumah ini.
Hujan lebat satu jam yang lalu kini
sudah mengurangi curahnya, rintik-rintik airnya kini disebut gerimis, namun gerimis
ini pun tampaknya akan hilang dengan segera, lebatnya derai hujan menyisakan
genangan –genangan di tanah-tanah halaman yang tidak rata serta berlubang, hujan
pun turut menyisakan basah di atap seng yang sudah berwarna kemerah-merahan
karena telah rapuh menahan hujan dan panas yang datang silih berganti, aku baru
menyadari bahwa seng ini belum pernah di tukar semenjak aku lahir, semenjak
menempati rumah ini 16 tahun silam, itupun ketika aku tempati rumah kontrakan
ini, seng nya juga tidak baru. Maka tak heran ada begitu banyak lubang di seng-seng
atap ini sehingga membuatnya penuh dengan tempelan-tempelan dari semen itupun
berkali-kali tempel pula. Sementara itu ada juga beberapa lubang lain yang
belum sempat ditutupi, maka tak heran ketika hujan lebat seperti satu jam yang
lalu, ember-ember pun berjejer di lantai dalam rumah, tak hanya ember bahkan
piring pun menjadi langganan ketika stok ember penampung telah habis. Jika hari
sangat panas dan matahari berada dalam rentang
pukul 11 sampai 14 siang maka akan terdapat seberkas cahaya yang menelusup
melewati lubang seng. Ketika kecil, bagiku cahaya yang lurus dari lubang atap
seng menuju lantai itu sangat mengagumkan. Aku jadi teringat saat umurku 5
tahun seperti Abel kini, adikku satu-satunya.
Abel memegangi tiang kayu penyangga
atap-atap teras dengan tenang sembari memperhatikan air yang jatuh dari
awan-awan yang kini telah berwarna seperti kapas bersih. Tiang dari kayu jati
ini juga seusia dengan seng yang ia sangga, cukup tekan kayu itu menggunakan
tangan maka akan didapatkan serbuk-serbuknya yang meluruh dengan sendirinya.
Sedari tadi Abel menunggu air hujan
tak jatuh lagi, aku tahu adikku yang manis itu sangat berharap hujan tak lagi
datang sebab ia tidak pernah ingin absen menghadiri acara ulang tahun
teman-teman sebayanya. Mereka yang dirayakan ulang tahunnya tersebut tentulah
yang dikategorikan berada dalam rentang ekonomi menengah ke atas, kurasa siapapun
tiada yang mau melewatkan moment itu sebab setelah bersenang-senang di pesta dipastikan
tidak akan pulang dengan tangan kosong, pastiilah ada sebungkus makanan ringan
yang banyak dan mahal serta belum tentu bisa dibeli oleh Abel dengan uang jajan
sekolahnya yang pas-pasan.
Pernah suatu ketika Abel menghadiri
ulang tahun temannya yang cukup dekat dengannya, adikku itu bahkan sengaja
menunggu hingga semua tamu undangan pulang sehingga ia bisa mengambil beberapa
bungkusan jajanan yang tersisa, maka tak heran terkadang abel bisa membawa pulang
dua kantong atau lebih jajanan sekaligus.
Abel merupakan anak yang cerdas,
ramah dan ceria dan manis, ia menyapa semua orang yang dikenalnya saat berpapasan,
di jalanan, di pasar, dan tempat-tempat lainnya, maka tak heran orang-orang
yang berada di kompleks ini sangat mengenalinya. Keterbatasan ekonomi keluarga
kami tak membuatnya minder, aku selalu mengaguminya dalam diam. Adikku yang
bahkan tak pernah membebani orang tuaku semenjak masuk Sekolah Dasar sebab ia
selalu masuk dalam daftar anak-anak pintar yang diberi beasiswa sekolah.
“Kakak…. Hujannya berhenti.” Teriak
Abel dari arah teras, aku yang sedang menjahit pakaian yang sudah robek cukup
terkaget mendengar teriakannnya yang keras, untung saja jarum yang kupakai
tidak terlalu dekat dengan jari-jariku. Memang, aku sudah tidak lagi mendengar
tetes air hujan di baskom-baskom yang hampir penuh.
“Mau pergi sekarang. Bel?” Ku
hentikan sejenak urusan jahit-menjahit, ku geser kepalaku sedikit, ku lepaskan
pandangan ke arah pintu yang terbuka untuk melihat Abel di teras, aku hanya
melihatnya dari belakang, kedua tangannya kini direntangkannya ke luar atap
teras,memeriksa apakah masih ada tetes air hujan yang jatuh dari langit.
Dengan cepat Abel lalu membalikkan
badannya, ia berjalan ke arahku yang terus memperhatikan geraknya
“Ayo Kak, kita pergi.! “ Ucapnya
dengan senyum yang merekah, tidak seperti tadi saat hujann lebat, ketika hujan
begitu deras tadi wajahnya sangat datar. Aku senang melihat perubahan wajahnya
ini. Bagiku, senyum Abel adalah senyumku juga.
“Ayo.!” Jawabku tidak kalah semangat
dengannya, aku mengembalikan benang dan jarum pada tempatnya, di laci mesin
jahit almarhum ibu, terlihat beberapa pesanan jahitan menumpuk di
keranjang-keranjang yang terletak di sebelah mesin jahit tanpa listrik ini.
Bajuku sendiri yang belum selesai ku jahit dengan tangan aku gantungkan dulu.
Bersambung…
Assalamualaikum wr wb
BalasHapusMasukan untuk mbak via, terlalu banyak kiasan untuk di part awalnya...
Perumpamaan kata gantinya masih bribet, perlu disederhanakan kembali...
Yang lainnya baik, jalan ceritanya keren,,,
Terimakasih,,, jika ada kata berlebihan mohon maaf, saya juga masih belajar...
Waalaikumsalam terimakasih masukannya mba, memang perlu editing lagi yah kayaknya, terimakasih juga sudah berkunjung...
HapusBaik mbak sama², ditunggu part selanjutnya mbak via...
Hapus