Cerpen : Turquoise in Ramadhan


ramadhan

            Cahaya sore menelusup melintasi dedaunan di sela-sela rindang daun pohon yang sungguh telah menanti sinarnya. Semua terpapar jelas di depan mataku yang lesu setelah bangun dari tidur nyenyak. Betapa tidak, jendela kamar tempatku memandang ini tak lah begitu jauh dari sebuah pohon yang sangat rindang. Pohon ini sudah seperti temanku sehari-hari, kadang ia menjadi sasaran ketika aku sedang badmood, terkadang juga jadi pendengar setia keluh kesahku.

            Aku tidaklah sendiri menikmati nyamannya pohon ini. Ada banyak temanku di sini, ada sahabat terdekatku yakni Afni, Latifa, Diana, Anisa dan banyak lagi yang tak bisa kusebutkan satu persatu. Pohon ini juga bukanlah satu-satunya di tempat lapang ini, ada beberapa pohon lain seperti pohon nangka, jambu ataupun kelapa. Tapi karena pohon inilah yang paling dekat dengan kamar kami, karena itu pohon jambu air ini menjadi lebih spesial.

            Beberapa meter dari tempat ini berdiri sebuah papan nama setinggi 2 meter tak jauh dari pagar beton yang setengah dari tingginya. Papan itu bertuliskan huruf “Panti Asuhan Kasih Ibu”. Ya, panti ini telah menjadi rumahku sejak lebih dari  3 tahun yang lalu. 3 tahun yang sangat berat ini telah kujalani dengan lapang dada. Di sini aku menghabiskan waktu bersama teman-teman, Ustadz dan Ustadzahku. Tak ada yang berkunjung walau sekedar menjenguk, tidak juga ibu, ayah, saudara ataupun nenekku.

            Ingatanku kembali melayang ke masa kecil saat aku masih tinggal di sebuah desa terpencil di Provinsi Jambi. Aku adalah anak semata wayang yang memiliki keluarga bahagia. Aku punya ibu, ayah dan nenek yang sangat menyayangiku. Mereka bilang aku gadis yang cantik sehingga tak heran banyak pemuda-pemuda desa yang sering berkunjung kerumah kami hanya untuk bertemu denganku. Aku mewarisi kecantikan ibuku yang memang sangat cantik. Menyenangkan sekali mengingat masa-masa itu, disaat aku selalu diperhatikan orang se-desa-ku. Aku tetap bahagia dan mensyukuri hidupku meski kami tergolong keluarga di bawah sejahtera.

            Kebahagiaan itu ternyata tidak berlangsung lama, kecantikan ibu membuatnya banyak dipandang oleh laki-laki kaya dan ibu tidak lagi bersedia miskin bersama kami. Ibu lalu bercerai dengan ayahku dan menikah dengan laki-laki itu, beliau lalu tinggal di Kota Jambi bersama suami barunya sementara aku tetap memilih tinggal bersama ayah dan nenekku. Aku tetap bahagia menemani ayah dan nenek meski terkadang bersedih karna rindu dengan ibuku. Sesekali aku mengunjungi ibuku di rumahnya, tapi aku tak senang dengan ayah tiriku, bagiku beliau adalah pria yang kasar.

            Kesedihan melandaku lagi. Ayahku meninggal karna kecelakaan dan kemudian aku hanya bersama nenek. Krisis melanda kami, nenek tak mampu lagi membiayai sekolahku yang saat itu sudah menginjak kelas 6 MI (Madrasah Ibtidaiyah). Nenek menyuruhku tinggal bersama ibu setelah tamat MI, tapi aku sudah terlanjur benci dengan ibu yang telah rela meninggalkanku, aku juga tak senang tinggal bersama ayah tiriku itu. Bayangkan, meski mereka hidup berkecukupan, mereka tak pernah memberi kami uang sedikitpun. Itulah alasannya aku berada di panti asuhan ini. Jauh dari ibu, jauh dari makam ayah dan jauh dari nenek.



***
            “Hanna…….” Teman-temanku berteriak membuyarkan lamunanku.
            “Hei… kalian ini mengagetkanku saja, kebisaan deh.” Aku merajuk.
            “Habisnya kamu melamun sih, terus-terusan memandang pohon jambu itu, kenapa? kamu naksir pohonnya yaaaa………hahahahaa.” Anisa meledekku, teman-temanku lalu menertawai lelucon itu bersama-sama.

            “Lho, Kamu kenapa Hanna? kamu nangis ya? mata kamu basah.” Latifa lalu angkat bicara.  Aku benar-benar kaget, air mataku jatuh saat mengingat masa lalu tadi. Aku benar-benar malu sama mereka. Segera tanganku membersihkan air mataku.

            “Gak.. Aku gak apa-apa kok, aku hanya teringat masa kecilku.” Kataku, Afni lalu mengusap rambutku yang lurus terurai

“Ya sudah, jangan diingat terus ya, ” ucap Afni dalam belaiannya.

            Mereka lalu memelukku erat, sisa air mataku membasahi jilbab yang dipakai beberapa di antara mereka. Ya, di antara kami berlima hanya aku dan Latifa yang tidak menggunakan jilbab. Entah mengapa, aku sama sekali tidak tertarik dengan jilbab, padahal mereka terutama Afni sering sekali mengajakku menggunakan jilbab. Tapi aku sungguh tidak tertarik, aku sudah cukup senang dengan rambutku yang lurus, hitam, tebal, halus dan cantik alami ini, jadi aku tak berniat menutupnya dengan jilbab. Saat di MI pun, aku hanya berjilbab saat wajib saja atau saat ke masjid. Aku sering merasa gerah dengan jilbab. Begitupun di panti ini, meski Ustadz dan Ustadzah disini telah menjelaskan panjang lebar tentang manfaat dan kewajiban seorang wanita menggunakan jilbab, aku tetaplah tak menghiraukannya. Aku sampai heran mengapa Anisa, Diana dan Afni betah sekali memakainya.

            “Ayo kita main ke pohon jambu. Dari tadi kamu tidur terus Hanna,” Diana lalu mengambil alih.
“Lho, bukannya sekarang masih pagi ?” Aku kaget dan bingung,   Aku melihat jam yang tergantung di dinding. Jarumnya menunjuk ke angka 4. Aku tak percaya, kuusapkan tangan ke mataku yang sayu lalu melihat jam lagi dan memang hanya jarum kecil itu yang terus berputar menunjukkan detik yang berlalu. Dan memang, sekarang jam 4. Ohh.. ternyata jam 4 sore. Ternyata tidur siang yang nyenyak tadi membuatku hampir lupa dengan waktu. Teman-temanku tertawa kecil melihatku yang nyaris tak sadar ini. Kami lalu tertawa bersama-sama menuju pohon kami.

            Di pohon ini, kami bercerita tentang kedatangan bulan Ramadahan yang tinggal menghitung hari. Lalu mendadak Umi Salamah memanggilku. Aku menuju ruang utama panti dan bertemu dua orang suami istri yang sedang berbincang dengan Abi Hafiz yang merupakan pemilik panti ini. Ternyata aku akan diadopsi oleh mereka. Perasaan senang dan sedih menghampiriku. Senang karena bisa keluar dari panti dan melihat dunia luar, tapi sedih juga karena harus meninggalkan teman-temanku.

            Ibu angkatku adalah seorang dosen dan bapak angkatku seorang kepala sekolah. Mereka sangat baik dan hanya memiliki seorang putra. Mereka juga memiliki usaha warnet (warung internet) dan akulah yang mengurusnya. Mereka juga menyekolahkanku di sebuah SMA di kota ini, kota yang terletak di sebuah kabupaten, tapi masih dalam Provinsi Jambi. Aku baru menginjak semester 2 kelas X. Tidak kusangka, ternyata pada ramadhan kali ini  hidupku telah berubah.
             Menjaga warnet orangtua angkatku adalah tugasku selepas sekolah, ya hitung-hitung membalas budi mereka. Aku senang dapat bertemu banyak orang dan aku juga digaji di sini. Tapi ada juga tak enaknya, banyak laki-laki yang sering menggangguku saat menjaga warnet, mereka juga seringkali bertindak tidak sopan saat menggunakan komputer terlebih lagi saat bertransaksi denganku. Terkadang aku merasa tak nyaman. Bukan tak pernah juga aku berfikir, mengapa ya aku harus cantik?
            Disela-sela kesibukanku berjaga, ada seorang wanita yang mengunjungi warnetku. “Mbak ada yang kosong ?” Ujarnya. Aku melihat sang pemilik suara, wajahnya yang anggun tak asing lagi di mataku. Ia memakai jilbab yang sangat rapi dan indah, dia terlihat begitu cantik. Ya, aku mengenalinya. Dia adalah Afni, sahabatku di Panti Asuhan Kasih Ibu yang beberapa waktu lalu kutinggalkan.

            “MasyaAllah Hanna.. ternyata kamu disini ? Alhamdulillah ternyata kita dipertemukan kembali oleh Allah,” sapa Afni gembira sekali sambil memelukku.
            “ Afni… Subhanallah… Aku senang sekali bertemu kamu, baru seminggu aku keluar panti, aku sudah  kangen sekali.” Aku membalas pelukan Afni, rasanya seperti bertemu dengan saudara yang telah lama hilang. Senang sekali.

            Sungguh dunia terasa begitu sempit. Aku bercerita dengan Afni, tak peduli pada pengunjung warnet yang memperhatikan kami. Afni terlihat lebih cantik dan anggun dengan jilbabnya yang semakin rapi. Ternyata ia juga diadopsi tak lama setelah aku oleh seorang Ustadz yang memiliki sebuah pesantren. Ia sungguh beruntung bisa diadopsi oleh Ustadz, mungkin jilbabnya yang membawanya kesana. Aku dan Afni menjalani Ramadhan pertama kami di luar panti sebagai anak angkat bersama-sama. Pengalaman 3 tahun lebih di panti membuatku dan Afni menjadi semakin dekat. Sejak saat itu, Afni sering sekali berkunjung ke warnetku.

            Keakraban membuat perbedaan tampak begitu jelas di antara kami. Tentu saja, Afni dengan jilbabnya yang sangat anggun membuat aku merasa malu sendiri melihatnya meskipun sebenarnya aku tak kalah cantik dengan rambutku yang juga sangat indah. Tapi tetap saja, ada perasaan kurang nyaman saat aku bersamanya.

Waktu berjalan kian cepat, bulan Ramadhan telah terlewati separuhnya, hari-hari baru yang kulewati sungguh menyenangkan. Kini aku dikamarku dalam perasaan ragu mengenggam sebuah jilbab berwana turquoise sambil menghadap cermin. Aku ingin memakainya mulai hari ini dan seterusnya. Aku ingin Ramadhan ini menjadi saksi bahwa aku akan jadi wanita yang baru, wanita muslimah yang cantik dengan jilbabku. Keinginanku sungguh kuat hingga jilbab ini menempel juga dikepalaku.

            Afni yang menjadi langganan menemaniku di warnet tertegun melihatku. Ia sungguh heboh dengan transformasi ini. Tak lama, suara seorang laki-laki yang terlihat cukup tampan menghentikan obrolan seru kami.

            “Assalamu’alaikum… Mbak.. eh, Hanna ya? Hmm… boleh ambil satu komputernya?”  Ucapannya begitu ramah dan lembut bercampur takjub. Aku dan Afni hanya tersenyum ringan.
***

Komentar

POPULAR POST