Cerpen : Tragedi Halte


halte

Rintik itu makin deras, tambah deras dan semakin deras, tanpa terasa telah membasahi hampir separuh tubuhku. Terlihat jalanan setapak yang kutelusuri telah beku menahan jamahan rintik yang berkecamuk ini. Tubuhku pun tak kalah bekunya. Hanya tekadlah yang mengantarkanku terus melaju membelah hujan.

Aku terus memasang langkah kaki seribu, terlihat di sekelilingku tak begitu ramai, mungkin orang-orang lebih memilih keluar rumah dengan alat yang tak tembus hujan, mobil misalnya. Atau mungkin mereka masih bergelut dengan bed cover mereka. Tapi, itu bukanlah aku.

Aku berhenti pada sebuah tempat yang tak asing lagi bagiku, setiap hari aku singgah di sana, menanti bis yang akan mengantarkanku ke tempat perguruanku, tempatku menyandarkan setitik harapan untuk menjadi orang. Orang yang lebih berguna, setidaknya.

“Windy, wah kamu basah sekali.”
Sebuah suara perempuan memanggilku ketika aku sudah dekat dengan persimpangan di dekat  persinggahan, suara yang sangat akrab di telingaku, aku tak ragu lagi pemiliknya pastilah Aini. Sebenarnya aku dan dia tak begitu akrab, salah satu faktornya mungkin karna aku tak suka dengan sikapnya yang sedikit ”miring” bagiku. Tapi halte ini adalah langgananku dengannya karena kami memiliki tujuan yang sama, SMA Pelita Jaya.

Aku duduk disebelahnya dengan sangat tergesa-gesa, agaknya napasku tersengal-sengal setelah berlari 10 km dari istana mungilku. Aku menarik nafas berkali-kali mencoba menetralisir aliran darahku dan melatih jantungku untuk tetap tenang. Air bertetesan dari wajahku, entah itu air hujan ataukah keringat akupun sulit membedakannya

“Windy, mengapa ke sini tidak naik ojek saja, rumahmu kan jauh dari sini, atau kamu kan bisa bawa payung.“ Aini memulai pertanyaannya setelah melihatku agak tenang.
“Hmm.. tak apa Ni, payungku rusak, yang satu lagi dibawa ibuku ke tempat kerjanya, Ia lebih jauh berjalan kaki daripada aku. Kalau untuk ojek, aku tak punya uang. Uangku hanya pas untuk pulang pergi dengan bis.“ Aku menjawab seadanya, untuk apa berbohong, toh Aini juga tahu bahwa kondisi ekonomi keluargaku tak seberuntung dia.

“Oh begitu, kalau hujan gini kenapa gak izin aja, aku bisa kok buatkan surat untukmu,” saran Aini.
“Hmm… gak deh Ni, makasih, sayang kalo lewatin sekolah sehari aja, hujannya juga air kan ?,” jawabku menjelaskan, berharap Ia mengerti kalau sekolah itu sangat penting bagiku hingga seberapapun derasnya air hujan takkan mampu menghadangnya.
“Ya ya ya. aku tahu, orang pintar kayak kamu gak mungkin gak sekolah, biar hujan batu sekalipun, ya kan Win ?” Aini menjawab lagi, kali ini dengan nada yang sedikit berbeda. Aku tak mengindahkan pertanyaannya, entah ia memuji atau mengejek, karna sungguh itu tak penting, ia juga pasti tahu apa jawabanku.

Jenuh dengan Aini, Aku lalu melihat disekitarku, cukup ramai, meski hujan deras, masih banyak yang antusias menjalankan aktivitasnya. Tepat disebelahku ada seorang bapak-bapak paruh baya. Dari penampilannya, ia terlihat seperti seorang guru. Aku tak tahu ia mengabdi dimana, tapi disekolahku, rasanya aku tak pernah melihatnya, aku juga baru melihatnya di halte ini.

Tin….tin…..
Suara klakson mengagetkanku, ternyata sebuah bis putih yang sedikit lusuh berhenti tepat didepan kami. Namun kelihatannya sudah hampir penuh. Bapak disampingku menuju bis itu dan berbaur dengan penumpang lain, aku sengaja membiarkannya duluan, sebab aku tak berniat menaiki bis yang sesak itu dan berhimpitan dengan penumpang lain, ku kira Aini juga begitu.
“Ni, kita bis yang selanjutnya aja ya ?” Biar bagaimanapun, aku harus tetap meminta persetujuannya atas argumenku. Aini pun mengangguk. Aku tersenyum, setidaknya untuk kali ini aku sependapat dengannya. Lagi pula, waktu juga tak terlalu mendesak. Terlihat masih beberapa orang yang sependapat dengan kami. Namun, pandanganku tertumbuk pada suatu benda tepat disampingku,  berbentuk persegi sedikit panjang, berbahan kulit dan berwarna coklat. Tak salah lagi, itu adalah dompet, pemiliknya tentu saja bapak paruh baya yang duduk disampingku tadi. Refleks, tanganku menyabetnya cepat, kepalaku pun berputar cepat bak gasing yang baru berputar setengah lingkaran, lalu di ambil oleh pemainnya. Pintu  bis baru saja tertutup. Aku mencoba mengejarnya namun tangan Aini menangkapku.

“Windy, kamu mau kemana ? kamu tidak lihat sekarang hujan ? bis nya juga penuh kan ?” Aini menegurku, Ia terlihat tidak setuju dengan sikapku yang tiba-tiba ingin pergi menuju bis.
“Ni, ini dompet Bapak itu, aku harus mengembalikanya.” Kulepas tanganku dari cengkraman Aini. Namun dua kakiku tak mampu menandingi empat roda yang melesit cepat menebas hujan itu. Aku pasrah. ”Mungkin kubawa saja dompet ini, mungkin saja besok aku bertemu dengannya lagi di halte ini.” Aku bergumam dalam hati.

Didalam bis, aku masih teringat Bapak tadi, sesekali mataku melihat dompet yang sedang kugenggam dijemariku, aku yakin, aku pasti bertemu dengannya lagi.

Aku sampai di sekolahku tercinta, karna tidak sekelas, aku dan Aini berpisah tak jauh dari gapura.  Mataku melihat sesuatu, seperti bercak darah di aspal depan gapura, perasaanku jadi tak enak, tapi entahklah, mungkin itu hanya halusianasi. Aku langsung menerabas hujan yang mulai sedikit reda, melewati gorong-gorong sekolahku, kulihat siswa-siswi yang biasanya ramai kini terlihat sepi, kuingat lagi, hari ini hujan memang sedikit ganas. Kelasku  di ujung sekolah, namun tak butuh waktu lama mencapainya jika lariku bisa lebih cepat.

Di kelas, aku melihat kelasku kosong, teman-temanku tak ada satupun. Tapi kulihat dikursi cukup banyak tas yang ditinggal pemiliknya. ”Dimana ya mereka ?” Kuletakkan tasku di kursiku yang biasa, nomor dua dari depan.

Tak lama, kudengar suara kaki berkejaran dari arah luar kelas, suaranya semakin dekat dan semakin keras, mungkinkah suara itu akan mendekatiku yang bingung kesepian ini ? dengan cepat, sesosok laki-laki memasuki kelas, badannya basah, rambutnya mengeluarkan tetesan hujan, dengan tergesa-gesa ia menuju mejanya di depanku lalu, membuka tasnya, mencari-cari sesuatu. Dia Andi, ketua kelasku.

“Windy, mengapa masih disini ? semua orang sedang sibuk di UKS,” Andi menanyaiku yang masih termenung dalam bingung melihat aksinya. Lalu aku tersentak mendengar kata itu, kata-kata yg sangat lazim kudengar ketika ada orang yang sedang bermasalah dengan kesehatannya.
“UKS ? Mmemangnya ada apa Andi ? apa yang terjadi ?” Nada suaraku menunjukkan kepanikan.
“Seorang guru kita ditabrak mobil 10 menit yang lalu didepan gapura sekolah saat baru turun dari bis, sekarang dia lagi di UKS, ini aku lagi ngambil kunci kotak obat.”
“Oh.. bagaimana keadaanya sekarang ?” Tanyaku lagi, masih dengan nada yang tak beraturan.
“Sepertinya tidak apa-apa, ya udah kamu ikut kesana aja, kamu kan juga anggota UKS. Lagian anak-anak yang lain juga disana.”  Saran Andi kemudian.

Andi tak bicara lagi, mungkin karena memang diamanahkan untuk cepat, ia lalu melesit keluar kelas. Aku mengikuti langkahnya yang gesit, mencapai tempat di ujung  lain sekolah. Kulihat banyak anak yang berkumpul disana, aku memasuki UKS, sebagai anggota UKS, aku biasa mengobati orang disini, jadi siapapun akan memberikanku jalan untuk masuk.

Aku melihat seorang bapak-bapak diatas ranjang di pojok UKS, kudengar orang-orang di luar ruangan saling berkomentar tentang guru baru, mungkin bapak ini adalah guru baru di sekolahku, korban tabrakan yang baru saja kulewatkan kejadiannya, andai saja aku datang lebih awal tadi. Tapi, mataku terbelalak, kaget, timbul perasaan  kecewa dan  sedih. Ada rasa menyesal dalam diriku, namun lega juga. Bulir bening mulai menetes dari sudut mataku yang aku pun yakin itu bukanlah keringat ataupun air hujan. Aku meraba kantong bajuku, kuyakin benda itu masih tersimpan disana.

Suaraku yang parau mencoba mengatakan sesuatu, sungguh sakit melihatnya, ku ulurkan sesuatu yang memang  sangat kuharapkan akan terulur dari tanganku, tapi bukan dengan saat seperti ini. Tapi harus apa lagi, aku tak bisa menolak jika aku harus bertemu dengannya lewat cara ini.
“ Pak, maafkan saya, ini punya bapak di halte tadi.“ Ucapku padanya.


Komentar

POPULAR POST