Cerpen : Tinta Perahu Kertas



perahu-kertas

Bagai panah pemburu yang menusuk tepat di jantung si rusa
Kapal telah menjumpai dermaga
Pesawat telah temui bandara
Racun telah dikalahkan penawar
Begitu pula asaku telah mencapai titik kenyataan

“Maa…. Mama….”
Aku nyaris tak bisa merasakan urat kaki yang mungkin saja telah bergeser, kepala yang telah berdenyut sejak lama ataupun tulang punggung yang letih menahan beban. Saat ini semua rasa hanya bergumul di dalam dadaku, di hatiku.
Aku berlari, ya berlari cukup jauh dari sebuah restoran tradisional tempatku biasa menghabiskan waktu sepanjang yang dimiliki sang  mentari, menata harapan-harapan yang dahulunya pernah muncul lalu lenyap, datang lalu pergi, hingga kini ia tertahan, tercekam di dalam ruang hampa jiwaku.

Akan tetapi, kali ini ruang hampa itu telah dirasuki sinar yang tidak datang tiba-tiba melainkan aku berusaha mendatangkannya. Aku percaya bahwa aku tidak akan pernah bisa lepas dari kecekaman itu jika aku tidak berusaha sendiri, kini sinar harapan yang datang takkan pernah kubiarkan padam dan menggelapkanku lagi dalam kehampaan.

Kubiarkan telapak kaki yang berbalut sepatu kets ini melangkah kian cepat, mengejek langkah sang waktu yang selalu konstan dan tak pernah melambat ataupun bertambah cepat. Hingga tak berniat pula aku untuk menunggu bis langgananku di sebuah halte yang tak jauh dari restoran. Meski saat ini gerimis kecil telah jatuh dari kumpulan awan hitam yang berada tepat di atas kepalaku, langkahku tak kunjung memelan.

Kakiku telah menginjak halaman rumah, dan tepat didepanku kini terdapat sebuah pintu sebagai akses utama masuk ke dalam rumah. Seperti biasa saat siang hari, pintu itu selalu tertutup.

“Maa,, Ma… Mama…”
Ku panggil lagi nama itu, nama malaikat yang telah sangat baik mempertaruhkan nyawanya untuk mengizinkanku menghirup oksigen dunia bersamanya.
Kuputar ganggang pintu yang tidak terkunci, memasuki rumah, aroma bolu pandan terasa menusuk hidung dan tak kupedulikan tetesan air diluar yang mulai berjatuhan ramai. Ada beberapa buku dan kertas yang masih tersangkut di jemari sebab tak muat dimasukkan ke dalam tasku yang cukup mungil.

Dengan langkah yang mulai memelan, kuturunkan perlahan tempo napas yang cepat, kuikuti aroma bolu pandan itu.

“Ada apa Li?”
Benar saja, belum sempat seluruh tubuhku memasuki kawasan dapur, suara Mama telah terdegar dari balik beton.

“Ma… “ Ujarku setelah mataku menangkap warna merah dari daster yang dipakai Mama, aku kenal betul warna-warna daster yang dipakainya.

“Iya Li, kenapa kamu cepat sekali pulang kerja?” Ujar Mamaku berbalik dari kulkas tempat ia mengambil bahan-bahan masakan.

“Ma, aku lolos…” Ujarku girang, senyumku merekah.
“Lolos apa?” Ujar Mama masih dengan nada datar.
“Lolos wawancara jurnalis, tadi aku dikirimi suratnya.” Ujarku girang, masih dengan senyum yang sungguh terus menguap dari dalam hati.
“Ohhh Terus restoran bagaimana?” Tanya Mama kemudian. Aku mematung, senyumku memudar seketika. Aku tahu Mama tidak begitu senang aku menjadi jurnalis yang telah lama menjadi impianku, karena ia lebih menyukai aku mengurusi restoran keluarga kami yang sudah besar dan harus terus dijaga serta dikembangkan dari waktu ke waktu. Hanya akulah harapan, karena Adit, satu-satunya adikku baru mulai memasuki masa sekolahnya di Taman Kanak-Kanak. Papa mengurusi bisnisnya yang menjamur di luar kota dan Mama lebih tertarik dengan urusan rumah tangga.
Akan tetapi menjadi harapan satu-satunya tidaklah selalu menguntungkan seperti yang orang lain pikirkan, terlebih dimana saat itu aku bahkan tidak bisa menemui sinar harapanku meski hanya setitik.

“Ayolah Ma.. kita punya banyak pegawai yang setia kan?” Ujarku membujuk. Mama telah selesai dengan bolunya, tapi aroma bolu itu sudah tidak begitu menggetarkan hati seperti tadi.

“Iya, tapi kita tidak boleh terlalu percaya dengan orang lain, kita harus tetap mengawasi, percuma kamu jadi sarjana kalau yang begini saja tidak tahu.” Ujar Mama dengan kalimatnya yang menyesakkan.

Aku tak paham Mama tidak ikut bergembira dengan kegembiraanku, niatku untuk memperlihatkan surat kebahagiaan itu telah musnah, padahal aku sudah diperbolehkan kerja esok pagi di sebuah stasiun televisi swasta hanya dengan membawa surat undangan yang mereka berikan ditemani beberapa berkas. Padahal aku juga sudah susah payah mengorek-ngorek info lowongan dari temanku yang telah duluan bekerja disana.

Kukerutkan bibir, mengisyaratkan kekecewaan, sungguh tak sanggup aku melepaskan pekerjaan impian yang telah di depan mata. Tapi aku tahu Mama takkan pernah mengizinkan dan aku tak tahu harus berbuat apa lagi.

Kulangkahkan kaki menuju kamar. Jendelaku berembun sebab gerimis telah menjadi hujan. Mengapa hujan menangisiku? Ujarku dalam lamunan. Dengan memandang rintik hujan dari balik kaca jendela  yang tiada henti-hentinya, sepertinya secercah cahaya yang memasuki ruang cekam jiwaku akan segera menghilang lagi.


__
Alhamdulillah… Aku bergumam dalam hati. Mataku bersinar tatkala tanganku menyibak tirai yang menutupi setengah jendela. Kulihat jelas rintik hujan yang begitu ramai telah berlalu, tertonggok setelah terjatuh dari awan. Awan hitam itu hanya membutuhkan waktu dua jam untuk membersihkan dirinya dan membuatnya kembali putih lagi.

Masih belum terlalu sore tepatnya setelah kumandang azan ashar bergema sayup ketika hujan tadi, mataku tak tahan melirik jam yang menggantung setia di dinding tepat diatas pintu kamar. Jarum terpendeknya menunjuk pada angka 4.

Mengapa aku senang dengan hujan yang reda? Mungkin karena aku berharap kesedihanku dikala hujan tadi hanyalah sebuah halusinasi. Kulihat lagi ke arah jendela, kamar mungilku yang terletak di lantai dua tidak terlalu tinggi untuk dapat melihat jelas ke tanah.

Dibawah sana Adit, adikku satu-satunya sedang bermain perahu kertas bersama Anton dan Abel, keduanya adalah anak tetangga sebelah kiri rumahku, sedangkan tetanggaku di sebelah kanan sudah tidak memiliki anak seumuran Adit melainkan hanya memiiki seorang anak perempuan yang seumuran denganku.

Ingatanku melayang ke masa kecilku saat umur 5 tahun seperti Adit, kala itu rumah yang kutempati belum bertingkat dua, halaman rumah masih sangat luas dan didominasi dengan rumput gajah mini yang sangat terawat. Tiap kali hujan reda di sore hari, aku selalu meminta kertas pada Mama atau Papa dan melipatnya menjadi bentuk perahu lalu mengapungkannya di genangan air diatas rumput yang tidak rata sehingga bagi capung ataupun burung yang sering mampir di halamanku, genangan itu terbentuk seperti sungai-sungai dan danau hijau yang luas, namun bedanya aku dengan Adit, aku menggunakan kertas-kertas bekas bahkan koran bekas untuk membuat perahuku sedangkan Adit menggunakan kertas yang masih mulus, Adit memang sedikit boros dibandingkan aku.

Akan tetapi ada yang mengganjal di mataku saat ini, ada yang berbeda di perahu-perahu buatan Adit kali ini, perahu Adit tidak semuanya mulus, namun ada beberapa perahunya yang dibuat dari kertas yang tidak baru melainkan kertas bekas, sebab terlihat jelas ada tulisan di kertas itu. Namun aku tak begitu memperdulikannya, syukurlah jika kini Adit beralih ke kertas-kertas yang lebih layak dijadikan perahu.

“Lika…” Suara Mama muncul merasuki telingaku. Aku menoleh kearah pintu kamar.
“Iya Ma.” Jawabku singkat. Aku mendapati mama telah melewati pintu yang setengah terbuka.
“Kalau kamu mau kerjaan itu ya ambillah, untuk sementara biar Mama yang mengurusi restoran.” Ujar Mama tenang, ia kini telah duduk di salahsatu sisi tempat tidurku.

Kalimat Mama begitu mengagetkan, bagai petir di kala mentari bersinar cukup terik. Dan aku mungkin saja benar, bahwa hujan tadi adalah halusinasi.

“Yang benar Ma?” Tanyaku pada Mama, masih belum percaya dengan pendengaranku.  “Iya.” Ujar Mama dengan senyum tulusnya yang selalu kukenali.
“Makasih Ma.” Ujarku sembari memeluk Mama.
Tak terlalu lama bergelut dalam perayaan bahagia, aku lalu teringat akan surat undangan yang tadinya tertunda kuperlihatkan pada Mama.

“Oh iya suratnya, sebentar ya Ma, Lika carikan.” Ucapku kemudian. Segera kucari selembar kertas itu di tumpukan buku namun tidak kutemukan, aku mulai gelisah membolik-balikkan tumpukan kertas lainnya. Aku ingat menyelipkan surat itu di buku-buku yang aku pegang tadi siang saat aku berlari menuju rumah, aku terlalu bahagia hingga tidak sempat memasukkan surat itu lagi ke dalam tas, bahkan amplopnya pun tertinggal di restoran, namun kenyataan kini surat itu tidak bersama buku-bukuku lagi.

“Ma, kemana ya suratnya?” Pencarian sengaja kuhentikan.
“Kececer mungkin Li.” Ujar Mama sambil membantuku mencarikan, ia memeriksa isi tasku. “Suratnya seperti apa?”
“Selembar Ma, kayak surat dinas biasa.” Jawabku sambil menggaruk kepala yang tidak gatal.
“Tadi sih habis kamu pulang, Adit bilang ketemu kertas bekas di depan pintu, padahal waktu itu Mama baru selesai nyapu teras, mungkinkah…” Mama tidak melanjutkan lagi ucapannya.
“Hah?“ Aku terperangah. segera kutuju jendela yang masih berembun tipis, membukanya lebar-lebar. Kulihat Adit telah membelah salahsatu kapalnya yang dari kertas bekas itu menjadi dua bagian sama besar, ia menenggelamkan setengah yang patah itu layaknya kapal Titanic yang terbelah sebelum tenggelam. Tinta hitam di perahu kertas itu melebar dan tidak berbentuk lagi.

“What… Adit….Tunggu…” Teriakku dari jendela kamar. Adit dan dua orang temannya sontak melihatku ke arah atas, mereka seperti ketakutan sebab aku yakin mataku terbelalak mengerikan.
“Angkat perahunya Dit…” Teriakku cukup keras, dengan segera aku berlari menuju danau tempat perahu-perahu Adit berlayar, menuruni anak tangga, tidak satu-persatu tentunya.
“Lika… Tunggu.” Tiba-tiba teriakan Mama mengiringi langkahku, namun tak cukup kuat untuk menghentikan langkahku yang semakin cepat mengikuti gravitasi, aku mengeluh, tangga ini begitu panjang.

“Lika… ini suratnya ada di bawah tempat tidur.”
Kalimat itu seperti keajaiban, langkahku memelan dan kini aku tepat di anak tangga terakhir.

Komentar

POPULAR POST