Cerpen : Berita Buruk Cokelat


chocolate

Mata gadis jangkung itu menatap sedih pada jari-jarinya. Jemari tangan kanannya diletakkan tepat di depan bola matanya yang hitam tajam. Susah payah ia membuka jari-jari itu yang sebelumnya membentuk kepalan, ia meringis tatkala matanya menyorot jelas warna garis-garis merah dan parit-parit kecil yang terbentuk disana.

“Hai Lanna. Sudah datang?” Suara yang tiba-tiba muncul mengagetkan gadis itu.
“Hei Nat, kamu mengagetkanku.” Ucap Lanna seketika. Ia memandang sinis pada Natly yang hanya memunculkan kepala dengan jilbab baby pinknya dari balik tembok, dengan begitu Natly terkesan seperti manusia tanpa badan, mengerikan.

Natly memunculkan kakinya yang ditutupi rok bahan satin berwarna pink tua hingga kemudian ia memunculan seluruh wujudnya pada Lanna. Kakinya melangkah menuju meja kayu tempat Lanna berdiri dan seketika pula matanya terbelalak melihat barang-barang yang tergeletak diatas meja itu.

“Hei, kamu belanja ya?” Tanya Natly dengan sumringah, sorot matanya seperti seekor kucing yang sedang mengintai ikan segar.
“Iya. Lihat nih tangan aku.” Ujar Lanna sambil menunjukkan rentangan jari-jari tangan kanannya ke depan wajah Nathly, lebih tepat lagi jika Lanna mengatakan “STOP”
“Ooh itu sih biasa Lann.” Ujar Natly tersenyum, tangannya sembari menyentuh beberapa barang-barang bawaan Lanna.
“Teman-teman….. Kesini… Lanna belanja…!” Teriak Natly kemudian. Tak lama bermunculanlah tiga orang gadis memasuki ruangan itu, ekspresi yang mereka  hasilkan tiada jauh berbeda dengan Natly.

“Hei kalian, kenapa bisa datang bersama?” Tanya Lanna kemudian
“Iya kami barusan booking tempat untuk acara kita nanti malam.” Ujar Lisa menjawab.
“Habisnya nomormu gak bisa dihubungi, jadinya kami berempat aja yang pergi.” Vika menambahkan.
“Iya tadi hapeku ketinggalan.” Jawab Lanna.
“Sudah ngobrolnya kan? mari kita bongkar, yeiy.” Ujar Natly kemudian. Dengan antusias mereka membongkar plastik-plastik putih berbagai ukuran yang berjejer di atas meja bundar itu. Lanna melihat saja tindakan teman-temannya yang terkesan brutal, mereka seperti mencari sebuah jarum emas yang terperangkap di antara tumpukan berantakan kardus-kardus kosong.

“Hei tunggu, belanjaanmu ada yang kurang Lan.” Celetuk Resha.
“Iya Res aku juga kepikiran itu, apa kamu lupa Lan, tapi rasanya gak mungkin kamu lupa.” Tanya Lisa kemudian, kulit di kening Resha mengerut.
“Hah? Apa? Apa yang ketinggalan?” Ujar Lanna dengan nada yang nyaris datar.
“Gak ada cokelat.” Ucap Nathly.
“Oh iya cokelat,” Tambah Vika yang baru saja mengingat keganjalan itu.
“Oh.. Memang gak aku beli.”
“Kenapa?”
“Malas aja.”
“Gak masuk akal.”
“Apa masalahnya tanpa cokelat?”
“Masalahnya karena itu kebiasaanmu, Lanna.”
“Iya, kami kenal kamu Lan, kamu selalu membawa cokelat ketika kamu lagi senang dan acara ngumpul kita kali ini adalah kegiatan happy-happy kita kan?”
“Tapi kali ini kamu gak bawa cokelat artinya kamu lagi gak senang.” Tuduh Natly
Mereka, tiga kepala lainnya mengangguk menyatakan suara yang sama.

“Aku….”
Well. What’s up Lanna?” Ujar Natly.
You can tell us, we are your friends.” Tambah Lisa.
Lanna menekukkan tengkuknya, menatap lantai yang bersih, lantai itu bahkan tak perlu perhatian hingga ditatap terus menerus oleh Lanna.

“Arvin memberikan aku cokelat.” Lanna memulai ceritanya.
“So, itu bagus kan? Bukankah calon suamimu itu selalu memberikanmu cokelat?” Tanya Natly nyaris tanpa jeda, ia tak sabar menghabisi kata-kata pengantar dari Lanna.
Lanna terdiam sejenak, menguak dan menyusun kembali data-data di memorinya yang belum lama direkam.

“Tapi cokelat itu didampingi berita buruk. Ia membiarkan aku memakan habis cokelat itu sebelum memberitahu kabarnya.”
“Berita buruk? Berita buruk apa?’ Tanya Lisa kemudian.
“Arvin mengaku, dia menyukai Lanni.” Lanna menghela napas panjang.
“Apa? That’s impossible Lann, bagaimana bisa?” Ucap Natly terkaget.
Lanna menengadahkan wajahnya, menatap ke langit-langit ruangan yang disebut dapur itu. Setetes air jatuh dari matanya. Dengan segera Resha menyodorkan selembar tisu untuk Lanna.
“Dia bilang bahwa sejak awal dia menyukai Lanni, dia mengira aku ini Lanni dan dia salah mendekati aku sejak awal.” Cerita Lanna mengalir seperti air.

“Ini gila, mengapa laki-laki itu bodoh sekali membedakan orang yang disukainya?” Ucap Natly lagi, wajahnya memerah seketika.
“Aku juga gak tahu. Aku dan Lanni nyaris sama, kami kembar, kami memiliki sifat, hobi, cita-cita bahkan pakaian yang sama, aku menyayanginya seperti diriku sendiri, aku melihatnya seperti aku bercermin, hanya bedanya aku suka cokelat dan Lanni tidak, tapi apa jauh bedanya aku dan Lanni.” Lanna terisak, kembali menatap sekotak lantai keramik yang dipijaknya.
“Aku sungguh tidak paham apa yang ada di pikiran Arvin.” Ujar Lisa.
“Padahal, meski  kami hanya bersahabat dekat, rencana-rencana kami sudah begitu panjang, bahkan hari pernikahan pun sudah kami rancang baik-baik.” Lanna menarik napasnya dengan sulit.
“Karena kesedihan ini, aku tidak membawa cokelat hari ini.” Lanna semakin terisak hingga pelukan gadis-gadis disekitarnya meredakan isakan itu.
“Oke, acara kita di luar batal, kita bikin acara disini aja, dirumahku.” Ucap Natly kemudian, mengakhiri adegan sedih itu


___
Asap putih mengepul dari bara api yang dipanaskan, terlebih lagi saat Resha mengipasinya. Aroma jagung begitu menusuk menyelimuti taman kecil yang asri itu, terletak di samping rumah Natly yang besar. Lanna merapikan jagung-jagung bakar yang telah siap konsumsi hingga suatu ketika gadis-gadis itu menerima kunjungan.

“Lan, ada tamu untukmu, di ruang tamu. Jangan tanya siapa orangnya, aku sudah susah payah mengusirnya.” Ujar Natly memberi kabar singkat.

Arvin datang dengan seorang wanita. Rupanya nyaris tidak ada bedanya dengan Lanna, tentu saja karena mereka tumbuh bersama dalam rahim yang sama.

“Lann, aku ingin memberikanmu cokelat.” Ucap lelaki itu membuka pembicaraan. Ia menyodorkan sebuah cokelat kemudian meletakkannya di atas meja kaca persegi panjang yang membatasi mereka.
“Cokelat terlalu manis disandingkan dengan berita buruk.” Ujar Lanna dengan wajah tanpa ekspresi.
“Aku tahu, kemarin tidak seharusnya aku memberikan cokelat untukmu, aku hanya berharap perasaanmu akan baik setelah memakannya, sebelum aku memberikan kabar itu.” Jawab Arvin. “Tapi kali ini aku dan Lanni tidak datang dengan berita buruk, percayalah.” Ujar Arvin lagi.

“Apa?” Tanya Lanna singkat, kurang tertarik dengan kabar yang akan diterimanya. Pundaknya disenderkan pada sandaran kursi yang tinggi  dan terbuat dari kayu, melampaui kepalanya.

“Aku ingin minta maaf Lanna, aku tahu aku begitu menyakitimu, aku benar-benar menyesal.” Arvin memberi jeda agak lama untuk menyusun kata-kata selanjutnya.

“Aku sangat menghargai persahabatan kita yang begitu panjang dan erat, penuh dengan rencana-rencana masa depan, aku sangat menyayangi kamu Lann.” Jelas Avin lagi. Tidak ada sepatah kata pun keluar dari bibir Lanna.

“Dan aku tak ingin semua kenangan kita berakhir dengan buruk, Aku tidak bisa kehilangan persahabatan kita begitu saja Lann, terlebih lagi hanya karena pengakuanku yang bodoh.” Ujar Arvin lagi.

“Dan aku telah menemukan orang yang sangat aku sayangi, masa depanku, dia adalah Lanni, saudaramu.” Arvin menoleh, melihat Lanni disampingnya. Ia begitu yakin dengan apa yang diucapkannya.

“Aku dan Lanni, kami akan segera menikah Lann.” Kata Arvin lagi. Lanna benar-benar kaget mendengar ucapan itu, tajam menusuk hatinya, ia terpaku.

“Dan aku kira, ini berita baik.” Ujar Arvin menutup penjelasannya, jemarinya menggeser cokelat di meja lebih dekat ke arah Lanna.

Lanna tak mampu mengatur napasnya yang sesak, ia nyaris memohon untuk dipanggil Tuhan dan menghilang dari tempat itu sesegera mungkin. Lanna melihat ke arah saudara kembarnya yang masih saja terdiam menjadi pendengar setia. Lanni lalu menyodorkan sebuah cokelat juga diatas meja tepat disamping cokelat yang diberikan Arvin, tanpa kata-kata apapun yang mengiringnya, agaknya cokelat itu telah cukup mewakili ucapannya untuk Lanna.

Lanna menunduk, mencoba menyembunyikan air mata yang nyaris terjun bebas,  cukup lama ia membisu mencoba mendamaikan hatinya, hingga bola matanya melirik dua bungkus cokelat di atas meja yang menjadi pengantar atas berita yang didengarnya malam ini, perlahan namun pasti Lanna lalu mengambilnya.

“Cokelat ini aku ambil, silahkan kalian pergi.” Ujar Lanna menutup pembicaraan mereka, masih dengan menunduk, kelopak matanya tak mampu lagi menahan air yang berusaha keras untuk jatuh, jemarinya meremas kedua bungkus cokelat itu sangat keras. ***
_______

Komentar

POPULAR POST